Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Jum’at, 28 November 2025, di Hotel Arya Duta, Menteng, Jakarta, menyelenggarakan diskusi publik “Tinjauan Kebijakan dan Hasil Studi Lapangan: Pembangunan Listrik Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Indonesia.”
Selain menyampaikan temuan lapangan, diskusi tersebut diadakan dengan tujuan memastikan pembangunan listrik energi terbarukan dapat dikembangkan melalui komunitas, melalui rilis Buku Panduan serta konsep “Pembangunan Listrik Energi Terbarukan Berbasis Komunitas.”
Hal ini juga selaras dengan pemberitaan nasional terbaru yaitu arahan Presiden Prabowo Subianto untuk rencana percepatan program PLTS Tiap Desa dalam
bentuk satu megawatt tenaga surya untuk setiap desa.
Rasio elektrifikasi di Indonesia menurut data Kementerian ESDM telah mencapai lebih dari 99%. Namun, capaian nasional ini ternyata belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan, terutama di wilayah 3T.
Kabupaten Kutai Timur di Provinsi Kalimantan Timur misalnya, hingga pertengahan 2024 masih memiliki 26 desa dari sekitar 140 desa yang belum teraliri listrik.
Artinya, rasio desa berlistrik PLN baru
mencapai 80,14%, sementara 19,86% sisanya masih bergantung pada sistem non-PLN, seperti genset dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala kecil.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang menghadapi tantangan distribusi energi listrik akibat akses geografis yang sulit dan terbatas.
Temuan di Lapangan Terkait Distribusi Energi Listrik yang Belum Merata
Temuan AEER menyoroti kesenjangan signifikan antara capaian elektrifikasi nasional dan realitas masyarakat di dua wilayah kajian: Desa Tebangan Lembak, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dan Desa Doda Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Di kedua lokasi tersebut, listrik tersedia secara tidak konsisten dan tidak menyeluruh, dan biasanya ditenagai oleh genset komunal atau PLTS skala kecil. Biaya BBM untuk genset tinggi, pasar desa tidak berjalan, dan kegiatan ekonomi produktif sulit berkembang.
Lebih miris lagi saat diingat bahwa kedua wilayah kajian tersebut dikelilingi oleh wilayah tambang batubara (di Kutai Timur) dan nikel (di Banggai), dua material yang digunakan untuk kebutuhan energi nasional dan global.
“Di lapangan kami masih menjumpai desa yang hanya mendapat listrik dari genset 6 jam per malam atau hidup dengan panel surya kecil yang tidak cukup untuk usaha. Hal ini sangat membatasi kebutuhan ekonomi di desa untuk berkembang,” tegas Annisa Hasna selaku Energy/Power System Analyst AEER.
Hal ini dikonfirmasi oleh Kementerian Desa yang menyampaikan bahwa masih terdapat 5.700 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik, terutama di Papua, NusaTenggara, dan sebagian perbatasan Kalimantan.
“Kementerian Desa memiliki instrumen seperti Dana Desa, hibah, dan kemitraan CSR yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan energi terbarukan. Namun tantangannya tidak sederhana, dimana akses geografis, kesesuaian teknologi, kapasitas kelembagaan, hingga keberlanjutan operasional masih menjadi pekerjaan bersama. Karena itu BUMDes harus didorong menjadi pengelola energi, bukan sekadar penerima proyek, agar pembangkit dapat berjalan berkelanjutan dalam jangka panjang,” ucap Nugroho Setijo Nagoro, Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI.
Kementerian Desa menitikberatkan instrumen kerjasama multisektor seperti dana desa salah satunya memprioritaskan pembangunan energi. Instrumen tersebut juga memiliki sharing cost antara pemerintah, pihak swasta, dan desa.
Oleh karena itu, hibah dan CSR harus dikelola oleh masyarakat untuk memastikan rasa kepemilikan dan
keberlanjutan fasilitas hasil instrumen.
Model Pengembangan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas yang Berkelanjutan
Titis Fitriani selaku Energy and Environmental Policy Specialist AEER melanjutkan bahwa penting untuk membentuk sebuah model listrik energi terbarukan berbasis komunitas yang menempatkan warga desa sebagai pengelola utama, bukan hanya sekadar penerima manfaat.
Titis menguraikan roadmap yang terdiri dari tahap pra-persiapan hingga operasi-replikasi yang memastikan pembangkit dapat berjalan 2–5 tahun ke depan melalui mekanisme iuran, pelatihan operator lokal, SOP pengelolaan, serta sistem monitoring dan evaluasi.
Ia juga menjelaskan bahwa energi komunitas memiliki dampak luas, mulai dari pembukaan peluang usaha, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, hingga mendorong keterlibatan perempuan dalam pengelolaan energi desa.
“Diperlukan penjelasan peran komunitas dalam kebijakan, agar warga daerah terpencil tidak hanya menjadi sekedar slogan, melainkan menjadi pelaku aktif dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka sendiri,” utasnya.
Fitri Wulandari, Sub Koordinator Kerjasama Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan bahwa pemerintah terus mendorong pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dalam bentuk PLTS komunal dan daerah yang belum terjangkau jaringan listrik PLN.
Meski demikian, keberlanjutan operasional pembangkit masih menjadi tantangan yang perlu diperhatikan bersama. Karena itu, diperlukan penguatan kapasitas teknis dan kelembagaan masyarakat agar mampu mengelola PLTS secara mandiri, mulai dari mekanisme iuran, perawatan baterai, hingga kesiapan operator lokal.
Pendekatan ini dinilai penting agar masyarakat tidak hanya menerima akses listrik, tetapi juga memiliki rasa kepemilikan dan pemahaman yang cukup untuk memastikan pembangkit tetap berfungsi dan menghadirkan manfaat sosial-ekonomi dalam jangka panjang.
Ke depannya, diperlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan sesuai dengan perannya masing-masing.
Pemerintah diharapkan dapat mengintegrasikan prinsip ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan energi, sehingga peran
komunitas tidak hanya sebatas prinsip, namun juga muncul dalam kebijakan yang
konkrit.
Untuk menjembatani gap antara pemerintah dengan komunitas, AEER dan pihak CSO lainnya dapat berperan untuk mengamplifikasi suara daerah, baik permasalahan maupun kondisi nyata sehingga dapat menjadi rekomendasi kebijakan bagi pemerintah maupun solusi energi lain yang sesuai dengan situasi di lapangan. (Amhar)