Oleh: Radhar Tribaskoro
Ada yang bergolak di bawah langit Indonesia hari ini. Ia bukan revolusi, bukan pula kerusuhan. Ia adalah keinginan yang tenang tapi dalam: untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka yang dulu berkuasa. Kita menyebutnya pengejaran rezim (citizen-led regime accountability)— sebuah istilah yang belum resmi, tapi telah hidup di bibir banyak orang.
Orang-orang mulai bertanya, apakah ijazah itu benar? Apakah proyek-proyek besar yang dulu dibanggakan — kereta cepat Whoosh, PIK2, Ibu Kota Negara — sungguh berguna bagi rakyat atau hanya jadi monumen keserakahan? Mengapa KPK lumpuh, mengapa Mahkamah Konstitusi menunduk, mengapa hukum terasa hanya tajam ke bawah?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diatur siapa pun. Ia tumbuh seperti rerumputan di antara celah-celah beton kekuasaan yang retak. Inilah fenomena yang kini memenuhi ruang publik Indonesia: pengejaran rezim, sebuah upaya spontan masyarakat untuk mencari akuntabilitas yang tak lagi datang dari lembaga-lembaga negara.
Di negeri yang sehat, pertanggungjawaban bukan barang langka. Ada parlemen yang hidup, pers yang bebas, hukum yang tegak. Tapi di negeri ini, demokrasi berjalan tanpa koreksi. Lembaga-lembaga pengawas yang dulu diharap menjadi penyeimbang kekuasaan kini lebih mirip ornamen konstitusi — ada dalam teks, tapi lenyap dalam fungsi.
Data global memperlihatkan kecenderungan itu dengan jelas. Freedom House menurunkan peringkat Indonesia dari free menjadi partly free sejak 2018. Indeks Demokrasi V-Dem menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan laju “autokratisasi tercepat” di Asia. Economist Intelligence Unit, dalam laporan tahunannya, menulis bahwa demokrasi Indonesia kini “cuma prosedural”—kotak suara tetap ada, tapi pilihan moral menguap.
Ada pula Corruption Perception Index yang tak beranjak naik sejak KPK dipreteli. Dan Indeks Rule of Law dari World Justice Project yang mencatat melemahnya kendali atas kekuasaan pemerintah. Semua data itu serupa seismograf yang menandai getaran: sistem pengawasan negara retak dari dalam.
Tapi data hanyalah gejala. Di baliknya, ada kisah yang lebih dalam: bagaimana kekuasaan menutup diri dari koreksi, dan bagaimana masyarakat mencari jalannya sendiri untuk menegakkan kebenaran.
Lihatlah kereta cepat Whoosh, misalnya. Proyek yang dimulai dengan janji efisiensi kini menelan triliunan rupiah dana publik. Tak ada transparansi, tak ada audit terbuka, tak ada tanya jawab di parlemen. Atau PIK2, yang konon akan menciptakan Kota Mandiri kelas dunia, tapi berujung kepada privatisasi laut dan reklamasi ilegal.
Di Rempang, rakyat dipaksa menyingkir atas nama investasi. Di IKN, segala keputusan tampak datang dari satu sumber — presiden. Di Mahkamah Konstitusi, hukum dipelintir dengan dalih “demi pembangunan”. Di KPK, pemberantasan korupsi dikembalikan ke pangkuan birokrasi.
Dalam semua itu, negara bertindak bukan sebagai penjaga kepentingan publik, melainkan sebagai perantara antara kuasa dan modal. Ia bukan lagi pelindung warga, tapi broker yang melancarkan ambisi segelintir orang.
Ini yang dalam bahasa ilmu politik disebut state capture: ketika kebijakan dan lembaga negara dikuasai kepentingan privat. Tapi dalam bahasa awam, kita menyebutnya sederhana saja: kekuasaan yang lupa kepada rakyatnya.
Ketika semua kanal koreksi dalam sistem formal ditutup, akuntabilitas berpindah tempat. Ia tak lagi datang dari DPR, Mahkamah, atau lembaga antikorupsi, tetapi dari bawah: dari warganet, jurnalis independen, pengacara publik, dan gerakan sipil.
Inilah yang disebut para ilmuwan sebagai societal accountability — akuntabilitas masyarakat. Ia tidak menunggu perintah, tidak berinduk pada lembaga mana pun, tapi lahir dari kesadaran moral kolektif bahwa kekuasaan tak boleh dibiarkan tanpa kontrol.
Maka muncullah pengejaran rezim. Orang-orang menggali data lama, menelusuri jejak proyek, mempertanyakan sumber kekayaan pejabat, membandingkan janji dengan kenyataan. Mereka bekerja tanpa gaji, tanpa mandat, tanpa perlindungan hukum. Tapi di situlah letak kekuatannya: karena mereka tak lagi percaya bahwa sistem bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Fenomena ini, jika dibaca secara teoritik, bukan bentuk anarki, melainkan tanda kehidupan politik yang mencari keseimbangannya kembali. Di mana negara berhenti mengawasi dirinya sendiri, masyarakat sipil mengambil alih peran itu.
Tentu ini bukan tanpa risiko. Societal accountability yang tak berinstitusi bisa berubah jadi tuduhan liar. Tapi dalam situasi state capture, ia adalah satu-satunya oksigen yang tersisa bagi demokrasi yang sesak.
Ada yang bertanya: apakah ini tidak melanggar prinsip bahwa “kebijakan tak dapat dikriminalisasi”? Bukankah setiap pemerintahan punya hak membuat keputusan, betapa pun kontroversialnya?
Pertanyaan itu sah. Tapi jawabannya tergantung: apakah kebijakan itu benar untuk kepentingan publik, atau disusun untuk melindungi kepentingan segelintir orang? Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka yang dikriminalkan bukan kebijakannya, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip good governance—transparansi, akuntabilitas, dan integritas.
Dengan kata lain, pengejaran rezim bukan bentuk pembalasan politik, melainkan upaya masyarakat memulihkan etika dasar pemerintahan. Ia lahir karena lembaga formal gagal menjalankan fungsinya. Ia muncul bukan untuk menghancurkan negara, tetapi untuk mengingatkan negara bahwa kepercayaan publik bukan barang yang bisa diutang selamanya.
Lepas dari itu, para politisi seharusnya mulai mencamkan dua hal sederhana — meski keduanya sering dilupakan ketika kekuasaan terasa hangat di tangan.
Pertama, stabilitas tak lahir dari pembungkaman. Suara rakyat bisa dibisukan, tapi hanya untuk sementara. Setelah itu, keheningan berubah menjadi gema — gema panjang yang mengejar pertanggungjawaban mereka yang dulu berkuasa. Sejarah selalu menunjukkan, tidak ada kekuasaan yang cukup kuat untuk menahan desakan nurani publik yang terluka.
Kedua, akan datang saat ketika kritisisme yang kini berdenyut di jalan-jalan dan dunia maya itu berbalik menjadi gelombang elektoral. Tanda-tandanya sudah tampak: partai-partai mencium aromanya pada Nepalisme, pada “Aksi Agustus 2025” yang mengguncang banyak keyakinan lama tentang kepatuhan politik rakyat. Bila partai-partai terus berpaling dari kewajiban moralnya, Pemilu 2029 mungkin akan menjadi altar penghapusan mereka sendiri—satu per satu, menghilang seperti PPP: dari layar, dari parlemen, dari ingatan.
Negara lain pernah melewati fase ini. Di Malaysia, skandal 1MDB berakhir dengan tumbangnya Najib Razak, bukan karena kudeta, tapi karena rakyat menolak dibohongi lagi. Di Korea Selatan, jutaan warga menyalakan lilin di jalanan hingga Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Park Geun-hye. Di Brazil, rakyat marah pada korupsi sistemik, meski akhirnya hukum dijadikan senjata politik.
Di Indonesia, semua itu seperti bayangan yang lewat. Gerakan sipil sudah menyala, tapi kanal politiknya belum terbuka. Societal accountability bangkit, tapi tak punya lembaga yang menampungnya. Maka yang terjadi adalah gelombang tuntutan moral tanpa sistem koreksi yang efektif — seperti air yang mencari celah, tapi terbentur tembok tebal kekuasaan.
Namun kita tahu, setiap tekanan akan menemukan jalan. Dan sejarah Indonesia pun penuh dengan itu: dari gerakan mahasiswa 1966, Reformasi 1998, hingga desakan moral hari ini. Sistem politik boleh tertutup, tapi kesadaran publik tak bisa dikurung.
Apa yang kita saksikan kini bukanlah dendam terhadap masa lalu, melainkan proses pemulihan moral terhadap masa depan. Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang tanpa konflik, tapi yang mampu memproses konflik menjadi pembelajaran bersama.
Maka pengejaran rezim bukan akhir dari demokrasi, melainkan tanda bahwa masyarakat masih memiliki daya untuk menagih. Ia bukan kebencian, melainkan bentuk cinta yang keras kepala: cinta pada keadilan, pada transparansi, pada keyakinan bahwa negara ini masih bisa lebih baik.
Barangkali inilah makna terdalam dari good governance—bukan sistem administratif, bukan rumus teknokratik, melainkan keberanian untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan. Dan selama keberanian itu masih hidup di antara warganya, bangsa ini belum benar-benar kehilangan arah.
Mungkin suatu hari nanti, mereka yang kini berkuasa akan mengerti: yang dikejar rakyat bukan kepala mereka, melainkan nurani yang hilang. Bahwa yang dituntut bukan balas dendam, tapi kejujuran; bukan kejatuhan, tapi pertanggungjawaban.
Sebab demokrasi, sebagaimana juga sejarah, selalu punya satu cara untuk menyeimbangkan dirinya sendiri: ia akan terus mengembalikan kebenaran ke tempatnya — entah cepat, entah lambat. (Do/PM)
Cimahi, 25 Oktober 2025