Program Sosial Ideologis Prabowo dan Engineering-Wise

Sep 29, 2025

Oleh: Hanief Adrian, Sekjen Keluarga Alumni PSIK-ITB dan penganut sosialisme demokratik

Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo, kita melihat mungkin ini satu-satunya Presiden RI di era Reformasi yang ingin merealisasikan dasar-dasar program berdasarkan janji politik Asta Cita secara langsung dalam waktu kurang dari setahun. Program unggulan Prabowo seperti makan bergizi gratis (MBG), koperasi desa merah putih, 19 juta lapangan kerja, 3 juta rumah untuk rakyat dan reforma agraria berupa perluasan akses tanah untuk rakyat.

Percepatan program-program berlandaskan Asta Cita ini tentunya bukan tak menemui kendala. Penciptaan lapangan kerja yang berkualitas terkendala perlambatan ekonomi global dan kebijakan pengetatan anggaran sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Program MBG terkendala kasus keracunan makanan yang menimpa 5.194 penerima manfaat termasuk murid sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui. Program koperasi, rumah rakyat dan lain-lain terkendala kesiapan birokrasi dan menteri yang tidak memahami program-program ideologis Prabowo.

Belum lagi sikap para akademisi dan aktivis seperti Aliansi Ekonom Indonesia dan Aliansi Akademisi dan Aktivis Peduli Masa Depan Indonesia yang menolak program sosial Prabowo seperti MBG dan Koperasi karena dinilai populis dan anti demokrasi. Cap populis dan anti demokrasi dari para akademisi dan aktivis yang kebanyakan berlatar belakang ekonom, praktisi hukum dan dokter kepada program sosial Prabowo sebenarnya menarik, karena pada dasarnya populisme adalah politik yang menekankan keberpihakan pada rakyat (populares) dan merupakan lawan dari sikap elitisme yang menekankan eksklusifitas dan hak istimewa kaum elite.

Dengan memberi cap bahwa Prabowo adalah populis, apakah aliansi ekonom, praktisi hukum dan dokter ini mewakili kepentingan elit yang terganggu dengan program sosial Prabowo yang sebenarnya ideologis? Jika mereka mengutamakan kepentingan elit status quo, bagaimana bisa mereka merasa dirinya sedang menegakkan demokrasi?

Populisme adalah Sikap Ideologis dan Demokratis!

Walaupun mengalami peyorasi, populisme sebagai langgam politik yang menekankan keberpihakan pada nasib rakyat kebanyakan lahir dari sikap ideologis. Pendirian negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 memiliki tujuan ideologis yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Artinya, jika Pemerintah sebagai penyelenggara negara hendak membuat program sosial, manfaat keadilannya harus dirasakan seluruh rakyat sebagai perwujudkan demokrasi secara substansial.

Bandingkan dengan kebijakan yang selama 27 tahun Reformasi diarsiteki para ekonom yang berjiwa elitis dan pragmatis. Rumus mereka dalam menghadapi krisis selalu deregulasi, debirokratisasi dan kebijakan sosial tepat sasaran alias untuk rakyat miskin saja, padahal menurut BPS struktur sosial masyarakat Indonesia didominasi 66,35% penduduk kelas menengah dan menuju kelas menengah.

Jadi bagi para ekonom, deregulasi, debirokratisasi dan kebijakan sosial tepat sasaran ibarat mantra sakti untuk segala situasi baik krisis maupun normal, ibarat minyak Pak Pung Oil yang manjur untuk segala jenis penyakit!

Kebijakan berjiwa pragmatis memang semacam agama para ekonom aliran arus utama (mainstream). Kita tentu mengingat bagaimana ekonom aliran arus utama seperti Dr. Sjahrir, Dr. Sri Mulyani, dan Dr. Sri Adiningsih setuju menghapus prinsip kekeluargaan dalam amandemen keempat Pasal 33 UUD 1945, dengan alasan prinsip inilah penyebab korupsi, kolusi dan nepotisme era Orde Baru.

Alih-alih menyempurnakan prinsip kekeluargaan dengan prinsip yang lebih ideologis seperti kesetaraan dan persaudaraan yang demokratis, Ciil dan Duo Sri justru berupaya memasukkan prinsip efisiensi sebagai asas perekonomian negara kita. Tentu saja efisiensi adalah satu prinsip yang melingkupi agenda deregulasi, debirokratisasi dan kebijakan sosial tepat sasaran, termasuk liberalisasi dan privatisasi, mantra-mantra neolib Konsensus Washington dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia, WTO dan IMF.

Prabowo yang berkali-kali dalam deklarasi pendirian Partai Gerindra dan kampanye pemilu menyatakan ingin mengembalikan Pasal 33 UUD 1945 kepada yang asli, tentu tidak akan sejalan dengan para ekonom elitis-pragmatis pembawa mantra neolib ini. Dan pelantun mantra neolib akan selalu memberi cap lawan ideologi mereka sebagai kelompok anti demokrasi, walaupun sudah berulang kali ditegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah upaya penyempurnaan demokrasi dalam bidang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, tidak hanya soal politik.

Urgensi Sikap Engineering Wise

Dalam membangun rezim pemerintahannya, pilihan Prabowo mengandalkan para akademisi dan praktisi berlatar belakang MIPA, Teknik dan Pertanian menandakan perubahan cara pandang (paradigm shift) dari kebijakan bercorak konservatif-pragmatis penuh kehati-hatian menjadi progresif-ideologis dengan engineering wise. Portofolio pemerintahan sektor kesehatan, peningkatan gizi, pendidikan tinggi hingga sektor keuangan dipegang sosok dengan pikiran engineering wise.

Maka, dalam petisi yang dipublikasikan Aliansi Ekonom dan Aliansi Akademisi dan Aktivis Peduli Masa Depan Indonesia, anda tidak akan menemukan akademisi maupun aktivis berlatar belakang pendidikan MIPA, Teknik dan Pertanian. Cara pandang engineering wise hampir selalu akan bersinergi dengan cara pandang politisi berlatar belakang militer seperti Prabowo, apalagi ilmu militer pada dasarnya adalah ilmu MIPA dan Teknik untuk kepentingan perang.

Cara pandang engineering wise adalah cara pandang unik dalam menjalankan kebijakan negara. Pertama, engineering wise berpandangan segala persoalan baik sederhana maupun rumit, baik teratur, kompleks, acak hingga tak teratur adalah hal yang dapat distrukturkan, dapat dipolakan dan dapat dianalisis dengan menggunakan formulasi matematika, dan dapat dijelaskan dengan bahasa manusia yang mudah dipahami khalayak.

Kedua, engineering wise berpandangan bahwa setiap persoalan pasti memiliki solusi, kendala yang dapat direkayasa, dan limitasi atau batasan yang tidak bisa dilanggar. Maka setiap engineer pada dasarnya adalah problem solver yang disiplin, dan kendala serta batasan yang ditemui dalam kehidupan sebenarnya adalah jawaban dari alam semesta yang berdasarkan Hukum Tuhan akan selalu berusaha mencari kesetimbangan bagaikan bejana berhubungan di laboratorium fisika dan kimia.

Ketiga, engineering wise selalu berpikiran membangun sistem yang berkelanjutan (sustainable). Seorang berjiwa engineering wise tidak akan pernah menyelesaikan problematika jangka pendek saja, tetapi juga jangka panjang dan berkelanjutan untuk masa depan.

Cara pandang engineering wise justru paling cocok dalam pembangunan di alam demokrasi yang memungkinkan perbedaan pandangan dan sikap politik. Lihatlah Presiden Habibie yang merupakan politisi berlatar insinyur pesawat terbang, ia mampu menggunakan prinsip aerodinamika dan aeronautika dalam menjalankan kebijakan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi minus 13 persen naik menjadi minus 4 persen, nilai tukar dollar ke rupiah turun dari 16.000 menjadi 6.700.

Tapi lihatlah apa yang dilakukan para ekonom neolib kubu Ciil dan duo Sri? Mereka terus saja mencibir kemampuan Dr-Ing Habibie bahkan saat ia sukses menyelamatkan ekonomi bangsa dari krisis moneter. Ketidakpercayaan masyarakat menjadi semakin menguat, hingga akhirnya laporan pertanggungjawaban Habibie ditolak oleh MPR dan ia tidak mau dicalonkan lagi menjadi Presiden RI.

Penutup

Pemerintahan Prabowo seharusnya dapat menyelesaikan problem yang dihadapi dalam menjalankan kebijakan sosial ideologisnya dengan cara pandang engineering wise. Kita melihat sosok-sosok berlatar belakang pendidikan MIPA dan Teknik menjadi pejabat penting di rezim Prabowo. Politisi Gerindra ring satu Prabowo rata-rata memiliki latar belakang pendidikan MIPA dan Teknik seperti Wakil Ketua DPR Prof. Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad (Teknik Elektro), Mensesneg Prasetyo Hadi (Kehutanan), Menlu Sugiono (Teknik Komputer), Wakil Mentan Sudaryono (Teknik Mesin), Dirut Pertamina Simon Aloysius Mantiri (Teknik Kelautan).

Enam menteri dan satu kepala badan adalah profesional, akademisi dan birokrat berlatar belakang pendidikan MIPA dan Teknik dari ITB yaitu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (Teknik Elektro), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Fisika), Menteri PU Dody Hanggodo (Teknik Perminyakan), Menteri Diktisantek Brian Yuliarto (Teknik Fisika), Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono (Teknik Industri), Menteri Tenaga Kerja Yassierli (Teknik Industri) dan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti (Teknik Kimia). Menteri/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy adalah insinyur peternakan dan Kepala BGN Dadan Hindayana adalah insinyur pertanian dari IPB.

Sebagai Kabinet yang didominasi politisi dan profesional dengan sikap engineering wise, tentulah para saintis dan insinyur di Rezim Prabowo kali ini dapat menstrukturkan, mencari solusi atas problem, kendala dan batasan yang ada, serta membangun kebijakan ideologis tersebut menjadi program jangka panjang. Dan tentu saja, para saintis dan insinyur dapat menghadapi dinamika demokrasi yang berkembang semakin baik di masyarakat, toh program-program sosial ideologis Prabowo hanya dapat berkelanjutan jika dipercaya oleh masyarakat bukan?

Mari kita songsong perubahan arus zaman yang sebelumnya konservatif-pragmatis yang hobi melantunkan mantra-mantra elit neolib menjadi pembangunan bernuansa ideologis bahkan cenderung sosialistis. Sedikit kesulitan harus kita hadapi untuk mewujudkan kebahagian bersama bangsa Indonesia. Mari kita hadapi kesulitan tersebut dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Deo, Patria, Veritas!
Panjang umur demokrasi!
Socialismo o muerte!

(Agt/PM)