Gambar: Rumah Pangeran Paribatra di Bandung kini menjadi restoran.
Nasib Pangeran Paribatra Sukhumbandu seolah ditulis ulang oleh sejarah. Dari seorang pewaris takhta Kerajaan Siam, (Thailand) berakhir sebagai tukang kebun di Bandung. Kisahnya bukan sekadar drama seorang bangsawan yang terusir, melainkan potret getir pergeseran zaman dari feodalisme ke modernitas, dari kekuasaan mutlak ke keterasingan yang sunyi.
Pangeran Paribatra adalah anak ke-33 (dan putra ke-13) dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dan Ratu Sukhumala Marasri, raja modernis Thailand yang memerintah dari 1868 hingga 1910. Di bawah Rama V, Siam berhasil menghindari penjajahan kolonial Barat, berbeda dengan hampir seluruh Asia Tenggara yang waktu itu tunduk pada imperium Eropa. Raja Chulalongkorn membuka pendidikan Barat, mereformasi militer, dan meniru sistem administrasi Eropa agar Siam cukup kuat untuk bertahan sebagai negara merdeka di tengah tekanan kolonial Inggris dan Prancis.
Sebagai anak raja, Paribatra tumbuh dalam kemewahan istana. Ia mendapat pendidikan tinggi di Eropa dan kelak dipercaya memegang posisi strategis dalam pemerintahan, termasuk sebagai Panglima Angkatan Laut, Menteri Dalam Negeri, dan penasihat raja. Namun semuanya runtuh dalam semalam.
Pada 24 Juni 1932, sekelompok perwira muda dan intelektual melancarkan kudeta damai terhadap monarki absolut. Mereka menuntut konstitusi dan demokrasi. Meskipun kudeta tidak menumpahkan darah, kekuasaannya dan simbol lama kerajaan runtuh. Paribatra, yang sangat terkait dengan sistem lama, diasingkan.
Setelah terusir, Paribatra mempertimbangkan melarikan diri ke Eropa. Tapi pilihan akhirnya jatuh pada Hindia Belanda koloni Belanda di Asia Tenggara yang hari ini kita kenal sebagai Indonesia. Pada Agustus 1932, bersama istri dan lima anaknya, ia tiba di Batavia (Jakarta), kemudian menetap di Cipaganti, Bandung.
Bandung waktu itu dikenal sebagai Paris van Java, kota pegunungan yang sejuk, tenang, dan menjadi favorit kaum elite kolonial. Pemerintah kolonial Belanda masih menaruh hormat pada Paribatra sebagai tokoh besar Asia, meski ia telah dilengserkan. Ia bahkan diberi tiga rumah besar sebagai tempat tinggal. Di sinilah babak baru hidupnya dimulai bukan sebagai bangsawan, tapi sebagai tukang kebun.
Menurut peneliti sejarah Bandung, Haryoto Kunto, Paribatra menekuni hobi bercocok tanam, khususnya anggrek. Ia sukses membangun taman bunga di halaman rumahnya. Tak sekadar menanam, Paribatra juga memperkenalkan varietas anggrek baru yang memperkaya keanekaragaman flora Bandung.
Majalah Mooi Indie tahun 1937 mencatat bahwa Paribatra dengan suka hati menjadi tukang kebun karena prihatin melihat Bandung yang “miskin bunga.” Dari pengasingan, ia tetap memberi kontribusi bukan dalam bentuk kebijakan, tapi lewat alam dan keindahan.
Tak puas hanya tinggal di rumah, Paribatra juga menjelajahi Hindia Belanda. Antara 1933 hingga 1938, ia kerap melakukan perjalanan ke berbagai kota seperti Jogja, Bali, Surabaya, Malang, Medan, Bogor, dan lainnya. Media-media kolonial menyorot perjalanannya, yang mirip tur nostalgia sekaligus pelarian batin. Ia sering menginap di hotel-hotel mewah dan melakukan napak tilas ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi ayahandanya, Raja Rama V, semasa tur diplomatiknya ke Asia Tenggara pada akhir abad ke-19.
Akhir yang Sunyi
Paribatra wafat di Bandung pada 18 Januari 1944, dalam suasana Perang Dunia II yang mulai merambat ke Asia. Ia dimakamkan sementara di kota yang memberinya damai dalam keterasingan. Empat tahun kemudian, jasadnya dipulangkan ke Thailand dan dikremasi di Istana Raja di Bangkok sebagai penghormatan terakhir bagi sang pangeran yang kehilangan segalanya, kecuali martabat.
Kisah Paribatra adalah persinggungan unik antara sejarah Thailand dan Hindia Belanda. Di satu sisi, ia mewakili berakhirnya monarki absolut di Asia melalui jalan damai. Di sisi lain, kehadirannya di Bandung menjadi saksi bahwa bahkan dalam sistem kolonial yang keras seperti Hindia Belanda, masih ada ruang hormat untuk mereka yang kehilangan kekuasaan, tapi tidak kehilangan kehormatan.
Editor: Agusto Sulistio