Pemerintah Amerika Serikat pada Kamis (6/6/2025) menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Langkah ini diambil karena ICC dianggap melakukan “tindakan tidak sah dan tidak berdasar” terhadap AS dan sekutunya, Israel.
Sanksi ini merupakan kelanjutan dari ketegangan antara AS dan ICC setelah pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang di Gaza, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata, menyusul serangan Hamas pada 2023.
ICC adalah lembaga hukum internasional yang yurisdiksinya diakui oleh 123 negara penandatangan Statuta Roma. Namun, AS, Israel, Rusia, dan China bukan bagian dari perjanjian tersebut. ICC juga tak memiliki polisi sendiri, sehingga bergantung pada negara anggota untuk menahan para tersangka.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut bahwa sanksi tersebut diberikan sebagai respons atas “penyalahgunaan kekuasaan” oleh ICC yang dianggap mempolitisasi hukum internasional. Empat hakim yang dijatuhi sanksi adalah Solomy Balungi Bossa (Uganda), Luz del Carmen Ibanez Carranza (Peru), Reine Adelaide Sophie Alapini Gansou (Benin), dan Beti Hohler (Slovenia). Mereka kini diblokir aksesnya ke sistem keuangan AS dan menghadapi hambatan dalam transaksi internasional, sesuai Perintah Eksekutif 14203.
Menanggapi langkah ICC, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon menyebut pengadilan itu sebagai alat politik yang digunakan musuh-musuh Israel. Sementara itu, Jaksa ICC Karim Khan yang sebelumnya juga dikenai sanksi, kini sedang mengambil cuti di tengah penyelidikan PBB atas dugaan pelecehan seksual.
Langkah agresif Washington ini mempertegas posisi AS yang menolak yurisdiksi ICC dan siap melindungi sekutunya dari jeratan hukum internasional, meski dituduh menghalangi keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia.
(Agt/PM)