Oleh: Wawan Leak – Eksponen 80-an dan Pemerhati Sosial
Mereka sedang bermain Catur…
Presiden Jokowi tampaknya tengah menggerakkan langkah-langkah politiknya bukan lagi untuk menyerang, tetapi bertahan. Sebuah usaha untuk mengamankan “warisan kekuasaan”, menata jejaknya selama dua periode pemerintahan agar tidak terbaca sebagai bagian dari tata kelola kekuasaan yang cacat secara hukum maupun moral. Sementara di sisi lain, Prabowo Subianto terlihat menggerakkan bidaknya dalam posisi menyerang namun bukan serangan frontal, melainkan strategi pembongkaran perlahan atas berbagai persoalan yang ditinggalkan oleh era kekuasaan sebelumnya.
Sepanjang dua periode kekuasaan, Jokowi dikenal sebagai presiden yang gencar membangun infrastruktur. Namun publik belakangan menyadari bahwa pembangunan fisik tersebut menyimpan banyak kontradiksi dari proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai dipaksakan, eksploitasi tambang dan sumber daya alam oleh segelintir oligarki, hingga dugaan kuat praktek nepotisme dalam pengisian jabatan publik.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Namun, penempatan anak dan menantu Jokowi dalam posisi strategis kekuasaan telah menuai kritik keras dari publik. Fenomena ini mengindikasikan adanya “conflict of interest” dalam tubuh negara, dan bertentangan dengan semangat reformasi serta prinsip meritokrasi.
Dugaan pemufakatan jahat di sektor migas, proyek IKN, mafia pangan, hingga lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi di BUMN semuanya terakumulasi menjadi beban warisan kekuasaan yang tak mungkin ditutupi dengan retorika pembangunan semata.
Setelah resmi dinyatakan sebagai Presiden terpilih 2024, Prabowo mulai menunjukkan arah yang berbeda. Ia menampilkan langkah-langkah simbolik dan substantif untuk membuka ruang penegakan hukum yang lebih berani. Mulai dari sorotan pada judi online, mafia pangan, hingga kasus pertamina dan pengelolaan kelautan nasional.
Mengutip beberapa laporan media, Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan didukung oleh Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming karena keberaniannya membongkar mafia beras. Hal ini menjadi ironi karena Gibran adalah anak kandung dari Jokowi sendiri. Apakah ini sinyal adanya dinamika politik internal yang lebih kompleks dari sekadar hubungan keluarga?
Dalam konteks ini, Prabowo tampak sedang mengkonsolidasi kekuasaan bukan untuk meniru Jokowi, melainkan untuk mengoreksi pola yang menyimpang. Sejumlah pengamat menyebut langkah Prabowo terkesan lambat, namun penulis melihatnya sebagai pendekatan “sun tzu” tidak terburu-buru menyerang sebelum mengenali seluruh kekuatan lawan.
Di tengah pertarungan dua gaya kekuasaan ini, publik memainkan peran penting. Jika Jokowi mengandalkan “people perception” dengan simbolisme pembangunan dan kedekatan dengan rakyat, Prabowo tampaknya tengah membangun “people participation” dengan melibatkan masyarakat dalam reformasi sistemik.
Perbedaan pendekatan ini membawa kita pada dua kutub strategi. Jokowi memilih mempertahankan simbol dan citra sebagai pemimpin merakyat, namun di saat bersamaan melindungi struktur kekuasaan yang dibangunnya selama satu dekade. Sementara Prabowo mencoba memperlihatkan arah baru, mengajak rakyat untuk mengawal, bukan sekadar mengagumi.
Spekulasi yang menyebut Prabowo akan melanjutkan pola pemerintahan Jokowi patut dikritisi. Pekikan “Hidup Jokowi” oleh Prabowo lebih bisa dibaca sebagai strategi komunikasi politik guna merangkul basis pemilih yang besar, sekaligus menciptakan transisi kekuasaan yang tenang. Namun isi kebijakannya, perlahan, mulai menunjukkan arah berbeda.
Penutup
Sebagaimana permainan catur, langkah-langkah yang tampak tenang bisa saja menjadi serangan mematikan. Kita belum berada pada fase “skak mat”, namun bidak-bidak kekuasaan kini tengah ditata ulang. Proses ini, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, membutuhkan “kesabaran revolusioner”, kesabaran untuk menyaksikan perubahan berjalan perlahan tapi pasti, dan rakyatlah wasit sejatinya.
“Aku tidak sedang mengangkat batu guna membangun candi, tapi aku sedang menyiapkan kesejahteraan, keberadaban dan keadilan bagi rakyat. Yang kelak akan menjadi bunga-bunga di atas batu nisanku.” – Bung Hatta.
Kalimat itu bukan sekadar metafora. Ia adalah sumpah moral bahwa kekuasaan sejati bukan tentang kejayaan, melainkan warisan nilai yang hidup di tengah rakyat.
Editor: Agt/PM