Foto: GREAT INSTITUTE (Ist)
Keberhasilan pembangunan nasional semestinya berpijak dari daerah dan desa. Keduanya harus menjadi fondasi utama dalam strategi pembangunan agar lebih merata dan berdampak langsung ke rakyat. Dalam konteks ini, peran aktif pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan berbagai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, koperasi Merah Putih, dan makan bergizi gratis.
Sebaliknya, pendekatan pembangunan yang terpusat sebagaimana terjadi pada masa lalu, terutama dalam pengendalian anggaran oleh pemerintah pusat kerap membuat program-program pembangunan tidak tepat sasaran dan jauh dari kebutuhan nyata masyarakat.
Itulah inti dari Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh GREAT Institute di Jakarta, yang rangkuman kesimpulannya dibacakan oleh Ketua Dewan Direktur, Dr. Syahganda Nainggolan, Jakarta, Senin 26 Mei 2025.
Diskusi dihadiri para pakar otonomi daerah seperti Dr. Arief Adillah (Politeknik Pengayoman Indonesia), Dr. Tito Sulistio (OJK), Dr. Endang Yuniastuti (Kemenaker), Riza Falepi (mantan Wali Kota Payakumbuh), Siswanto (Wakil Ketua DPRD Blora), Dr. Ratri Istania (STIA LAN), Adhamsky Pangeran (Ikatan Ahli Perencanaan), Jilal Mardhani (aktivis NGO), Korneles Galanjinjinay (mantan Ketua Umum GMKI), Dr. Hefrizal Handra (Wakil Rektor Universitas Andalas), serta Bupati Lahat, Bursah Zarnubi.
Mengusung tema “Mendorong Pemerataan Lewat Disain Ulang Hubungan Pusat-Daerah di Era Efisiensi Anggaran”, acara ini dibuka oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, Dr. Bima Arya. Dalam sambutannya, Bima Arya menyatakan bahwa langkah Presiden Prabowo merupakan kelanjutan dari gagasan para pendiri bangsa. Tokoh seperti Dr. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, menurutnya, telah lama menekankan bahwa pembangunan yang berakar dari desa dan daerah adalah poin penting keberhasilan bangsa. Ia menambahkan, cita-cita sosialisme demokrasi yang mereka wariskan kini kembali digelorakan. “Kita sudah meninggalkan era neoliberalisme. Prabowo berpihak pada rakyat kecil,” tegas Bima.
Dalam forum tersebut, Bursah Zarnubi memantik diskusi lebih tajam dengan turut mengingatkan kembali arahan Prabowo Subianto saat pertemuan bersama para kepala daerah, bahwa alokasi pembangunan seharusnya berpola 60% untuk kabupaten/kota, 20% provinsi, dan hanya 20% untuk pusat. Namun sayangnya, hingga kini, menurut Bursah, kendali pembangunan masih terlalu tersentralisasi. “Kepalanya sudah dilepas, tapi ekornya masih dipegang,” ujar Bursah.
Sementara itu, Dr. Ratri Istania, Dosen Lembaga Administrasi Negara menyoroti bahaya kembalinya pola lama jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke tangan DPRD, seperti masa lalu. “Jika itu terjadi, maka perempuan akan kembali tersingkir dari panggung kepemimpinan daerah,” pungkasnya.
Editor: Agusto Sulistio / PM






