Wulan dan Rendi adalah sepasang remaja yang sedang dimabuk cinta. Karena tak direstui orang tua, mereka menjalin hubungan diam-diam alias “backstreet”. Tiap malam, mereka kerap bertemu sembunyi-sembunyi di pos ronda kampung. Tapi malang tak bisa ditolak, suatu malam mereka kepergok warga sedang berduaan tak senonoh saat ronda keliling. Keduanya langsung diarak keliling kampung sebagai bentuk teguran moral warga agar jera dan tak mengulangi perbuatan yang mencoreng nilai masyarakat.
Kisah Wulan dan Rendi memang terdengar konyol, namun dalam dunia politik Indonesia hari ini, cerita serupa ternyata sedang dipentaskan oleh sebagian menteri di Kabinet Prabowo. Setelah resmi diangkat dan diberi kepercayaan memimpin kementerian, beberapa di antara mereka justru masih menjalin hubungan politik backstreet dengan Presiden sebelumnya, Joko Widodo. Hubungan yang tak terang, tak resmi, dan jelas tak sehat bagi demokrasi.
Fenomena ini tidak hanya memprihatinkan, tapi juga menyalahi etika kekuasaan. Seorang menteri seharusnya memiliki loyalitas penuh kepada presiden yang mengangkatnya. Jika masih sibuk melaporkan atau berkonsultasi kepada bekas presiden yang tak lagi memiliki mandat konstitusional, itu sama saja seperti pejabat yang berduaan di pos kamling lalu ketahuan berbuat tak semestinya di ruang kekuasaan rakyat.
Presiden Prabowo sendiri dalam berbagai kesempatan, baik saat retreat (pembekalan kabinet) di Akmil Magelang maupun dalam pidato publik, telah menekankan pentingnya loyalitas total sebagai fondasi stabilitas nasional. Ia bahkan menyebut bahwa pemerintahannya bukan sekadar tempat mencari jabatan, tetapi sebuah pengabdian yang menuntut komitmen tinggi terhadap negara dan rakyat.
Beberapa manuver politik yang muncul pasca pelantikan kabinet justru menunjukkan adanya jalan tikus kekuasaan yang masih terbuka. Hubungan backstreet ini bukan hanya kepada tokoh tertentu, tapi juga mungkin terjadi kepada kekuatan besar oligarki, kartel, dan kepentingan ekonomi asing. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru menjadi corong kekuatan di luar kendali negara.
Presiden Prabowo tentu tidak bisa menyusuri satu per satu jalan tikus itu. Namun, sebagai kepala negara, ia memiliki hak penuh untuk menegaskan garis loyalitas, dan jika perlu melakukan reshuffle terhadap mereka yang mbalelo. Seperti warga yang tak ingin Pos Kamling (Keamanan Lingkungan) digunakan untuk pacaran liar, negara juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga marwah kekuasaan tetap bersih dan konstitusional.
Kita bisa bercermin dari Amerika Serikat. Pada awal pemerintahan Joe Biden, beberapa pejabat ditarik mundur karena masih menjalin komunikasi dan kepentingan dengan jaringan bisnis era Donald Trump. Langkah itu penting agar tidak terjadi konflik kepentingan yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Jika Prabowo ingin membangun pemerintahan yang kuat dan stabil, ia perlu memastikan bahwa seluruh pembantunya berdiri di garis yang sama. Tidak bisa satu kaki di istana dan satu kaki di rumah lama. Tidak bisa pagi ikut rapat kabinet, malam masih sowan diam-diam ke pemilik kekuasaan masa lalu atau ke oligarki tambang, kartel sembako, dll.
Fenomena backstreet politik ini bukan hal baru dalam sejarah Republik kita. Presiden Soekarno, pasca-Dekrit 5 Juli 1959, menghadapi loyalitas semu dari para pejabat sipil dan militer yang masih menjalin hubungan diam-diam dengan kekuatan luar. Soeharto pun terpaksa tegas menyingkirkan mereka yang tak setia sepenuhnya demi mempertahankan kendali. Bahkan di era transisi Habibie, warisan backstreet Orde Baru menjadi ganjalan reformasi.
Ironisnya, justru di era Jokowi praktek semacam ini dilembagakan secara halus. Beberapa pejabat bermain dua kaki, menjalin relasi politik sambil berbisnis di atas nama rakyat. Tidak ada evaluasi, karena kompromi dianggap lebih aman ketimbang mengambil sikap tegas.
Kini Prabowo menghadapi pilihan sejarah, membiarkan kabinetnya menjadi ruang abu-abu yang penuh manuver diam-diam, atau merapikan barisan dengan ketegasan? Jika loyalitas para pembantunya tidak tunggal, maka ia sedang memimpin pemerintahan yang rapuh sejak awal.
Backstreet politik adalah bentuk pengkhianatan diam-diam. Bukan hanya kepada presiden, tapi kepada rakyat. Apalagi jika hubungan diam-diam itu melibatkan kartel pangan, konglomerat tambang, atau kepentingan asing yang ingin terus mengendalikan republik ini dari balik layar.
Bangsa ini sudah cukup lelah menghadapi elite yang hanya memikirkan kenyamanan sendiri. Jangan biarkan rakyat menderita lebih lama hanya karena presiden dikelilingi orang-orang yang tak tegas dalam memilih siapa pemimpinnya. Kalau memang masih ingin jadi bagian dari masa lalu, silakan mundur. Tapi kalau sudah memilih maju bersama Prabowo, maka berhentilah bermain di lorong gelap politik backstreet.
Indonesia butuh pemerintahan yang terang-benderang, bukan yang remang-remang seperti asmara tak senonoh Wulan dan Rendi di Pos Kamling.
Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
Kalibata,Jakarta Selatan, Senin 14 April 2024, 09:09 Wib.