https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Membaca Arah Politik Ganjar Pranowo (PDIP) dan Desakan Gibran Mundur oleh Forum Purnawirawan

Apr 27, 2025 #Agusto Sulistio

Di tengah ketegangan politik yang kian memanas antara PDI Perjuangan (PDIP) dan dinasti politik Presiden Jokowi, pernyataan Ganjar Pranowo tentang usulan pergantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan.

Saat ratusan purnawirawan perwira tinggi (TNI-AD, AL dan AU) yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI diantaranya terdapat tokoh-tokoh besar seperti Try Sutrisno, Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, Hanafie Asnan, Sutiyoso, dll, secara terbuka menyerukan pergantian Gibran karena dianggap melanggar hukum dalam proses pemilihannya, Ganjar Pranowo, Ketua DPP PDIP dan mantan capres 2024, merespons dengan nada mempertanyakan, “di mana letak kesalahannya?”

Mengutip CNB, “Saya tidak tahu itu, apa satu alasan pencopotan,” kata Ganjar di Jakarta Selatan, Minggu (27/4/2025). Ia menegaskan bahwa dalam konstitusi, pergantian wakil presiden harus melewati mekanisme ketat di parlemen dan harus didasarkan pada alasan kuat, seperti pelanggaran berat yang memenuhi syarat pemakzulan.

Penulis menilai bahwa respons Ganjar yang terkesan ‘mengulur’ dan tidak frontal mendukung seruan Forum Purnawirawan, memunculkan pertanyaan logis, apakah ini sikap politik yang ragu-ragu, atau bagian dari kalkulasi strategis?

Ganjar tampaknya memilih menjaga jarak aman. Di satu sisi, PDIP memang mulai membuka perbedaan sikap dengan keluarga Jokowi sejak Pemilu 2024. Namun di sisi lain, Ganjar pribadi tampaknya menyadari bahwa mengomentari secara keras soal legitimasi Gibran bisa menjadi jebakan politik. Terlalu keras menyerang Gibran bisa memperdalam fragmentasi internal di kalangan nasionalis, bahkan memperkeruh posisi PDIP di mata publik yang menginginkan stabilitas nasional.

Ganjar juga tampaknya membaca peta lebih dalam. Meski kini Jokowi berpisah jalan dengan PDIP, pengaruh Jokowi di kalangan birokrasi, aparat daerah, dan sebagian besar pemilih di kantong-kantong Jawa Tengah-Jawa Timur belum sepenuhnya pudar. Jika Ganjar secara terbuka memusuhi dinasti Jokowi, dia bisa kehilangan basis masa depan yang masih melihat Jokowi sebagai figur populer.

Disisi lain, perspektif kekuasaan, saat ini belum seluruh elemen kekuasaan dikuasai oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Prabowo masih butuh waktu untuk konsolidasi kekuasaan secara penuh, termasuk di kalangan birokrasi, militer, dan lembaga negara. Dalam masa transisi ini, manuver politik yang terlalu agresif justru berisiko besar, baik bagi Ganjar maupun bagi siapa pun yang berniat mengambil posisi konfrontatif.

Dalam konteks ini, saya menilai sikap Ganjar justru sejalan dengan pendekatan Presiden Prabowo, sebagaimana disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto, yang menyatakan bahwa tuntutan Forum Purnawirawan akan ditanggapi dengan bijak, namun tetap harus memperhatikan pandangan kelompok lain, konstitusi dan dinamika nasional. Prabowo tampaknya memilih sikap “cool down”, tidak terburu-buru, karena memahami bahwa stabilitas jauh lebih penting di tengah masa transisi kekuasaan nasional.

Tanpa kekuatan parlemen yang solid dan tanpa bukti hukum yang tidak terbantahkan, tuntutan pergantian wakil presiden hanya akan menjadi wacana politik tanpa realisasi nyata. Ganjar tampaknya memahami itu. Daripada terjebak dalam isu yang penuh risiko, ia memilih mengajak berbicara tentang agenda yang lebih membangun dan produktif.

Meski Ganjar tampak meredam isu ini, seruan Forum Purnawirawan punya bobot moral dan simbolik besar. Tuntutan mereka memperlihatkan adanya keresahan nyata dari kalangan patriotik bangsa terhadap proses politik yang dianggap menyimpang, terutama terkait pelanggaran batas usia cawapres yang diubah secara kilat melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.

Namun, dalam realitas politik Indonesia, mengubah konfigurasi jabatan tinggi negara bukan sekadar soal etika atau moralitas. Ini soal kekuatan riil di parlemen, koalisi nasional, dan dukungan publik yang masif. Semua ini belum tersedia saat ini.

*Penutup*

Respons Ganjar yang terkesan ‘adem’ mencerminkan gaya politik berbasis kalkulasi rasional, bukan ledakan emosional. Ini bisa dibaca sebagai pragmatisme bahkan oportunisme, tetapi di sisi lain menunjukkan kepiawaian Ganjar Pranowo dalam membaca situasi, bahwa dalam politik, tidak semua peluru harus ditembakkan sekaligus. Terkadang, bertahan dalam badai lebih strategis daripada menyerang tanpa kesiapan.

Jika ditarik dalam perspektif teori kekuasaan, sejalan dengan pandangan Niccolo Machiavelli dalam karya terkenalnya Il Principe (Sang Pangeran), bahwa dalam dunia kekuasaan, seorang pemimpin tidak selalu harus bertindak frontal terhadap lawan politiknya. Sebaliknya, ketepatan memilih waktu untuk bertindak adalah hal yang menentukan keberhasilan.

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Kalibata, Jakarta Selatan, 28/4/2025, 06:18 Wib.