https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Menegakkan Pendidikan Nasional: Pesan Ki Hajar Dewantara untuk Masa Depan

Agu 5, 2024

Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed

Ki Hajar Dewantara, lahir pada 2 Mei 1889, adalah tokoh penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sebagai salah satu pendiri Taman Siswa pada 1922, Ki Hajar Dewantara berperan krusial dalam memajukan pendidikan nasional di era kolonial. Bersama dengan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, Dewantara berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan memperjuangkan hak pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Dalam perjuangannya, Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, mengangkat harkat dan martabat sesuai dengan pencipta.

Pendidikan di Indonesia tidak akan efektif tanpa kerjasama antara semua pihak terkait guru, murid, pemerintah, dan orang tua. Ketidakharmonisan di antara pemangku kepentingan dapat menyebabkan kesenjangan pendidikan, terutama antara kota besar dan daerah terpencil. Contohnya, di daerah pedalaman seperti Papua, kekurangan tenaga pendidik dan fasilitas pendidikan yang memadai sering kali menyebabkan kualitas pendidikan yang jauh tertinggal dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Penyebab utama ketidakharmonisan ini termasuk ketidakcukupan ilmu di kalangan guru dan kurangnya motivasi siswa. Misalnya, di beberapa daerah, guru tidak selalu mendapatkan pelatihan yang memadai, sehingga mereka kesulitan menyampaikan materi dengan efektif. Di sisi lain, siswa di daerah terpencil mungkin tidak memiliki akses yang cukup untuk menggali ilmu lebih dalam karena keterbatasan sumber daya dan fasilitas.

Solusi potensial mencakup penyediaan sumber daya belajar yang lebih baik, memungkinkan akses materi ajar yang lebih luas. Di era digital ini, bahan ajar dapat diakses secara online dari universitas dan lembaga pendidikan terkemuka. Namun, dukungan pendidik tetap krusial. Program seperti “Guru Penggerak” yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan dapat memberikan pelatihan yang lebih baik kepada guru, tetapi implementasinya perlu ditingkatkan di seluruh Indonesia.

Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, di bawah pemerintahan Jokowi, telah menghadapi tantangan signifikan. Salah satu kebijakan kontroversial adalah sistem “Merdeka Belajar” yang dicanangkan pada 2019. Meskipun bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih besar dalam kurikulum dan penilaian, implementasinya menunjukkan beberapa potensi negatif. Contohnya, kebijakan “Asesmen Nasional” yang menggantikan Ujian Nasional (UN) dirancang untuk menilai kompetensi siswa secara holistik, tetapi di lapangan sering kali menghadapi masalah seperti kesenjangan infrastruktur yang membatasi akses sekolah di daerah terpencil untuk mengikuti asesmen ini dengan baik.

Selain itu, program “Sekolah Penggerak” yang bertujuan meningkatkan kualitas sekolah, juga menghadapi kritik. Beberapa pihak menyebutkan bahwa program ini lebih fokus pada sekolah-sekolah yang sudah memiliki sumber daya yang lebih baik, sementara sekolah di daerah tertinggal kurang mendapatkan perhatian. Ini berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan antar daerah.

Tantangan ke depan mencakup penanganan potensi masalah seperti keinginan berprestasi tanpa usaha dan kurangnya karakter kejujuran (sidik) di kalangan pelaku pendidikan. Misalnya, adanya kasus plagiat di kalangan mahasiswa menunjukkan kurangnya kejujuran dan integritas dalam dunia pendidikan. Selain itu, kurikulum yang tidak sesuai dengan karakter daerah sering kali mengabaikan nilai-nilai lokal, seperti di Aceh yang memiliki kurikulum berbeda dari daerah lainnya untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal.

Kurikulum yang tidak selaras dengan kondisi lokal dan etika dapat mengakibatkan erosi moral dalam pendidikan. Oleh karena itu, penting untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan lokal dan meningkatkan metode pengajaran agar sesuai dengan prinsip kejujuran dan integritas. Program penilaian berbasis kejujuran dan kerja keras, seperti ujian yang menilai pemahaman mendalam dan aplikasi praktis, bisa membantu membentuk generasi yang lebih berkualitas.

Penutup

Untuk mengembalikan kualitas pendidikan yang sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara di tengah modernisasi dan tantangan global, perlu adanya pendekatan yang seimbang antara teknologi dan nilai-nilai moral. Pendidikan harus mengintegrasikan aspek akademik dengan pengembangan karakter. Ini termasuk penekanan pada etika, budi pekerti, dan kejujuran sebagai bagian integral dari kurikulum.

Penting juga untuk melibatkan semua pemangku kepentingan guru, orang tua, dan masyarakat dalam proses pendidikan agar tidak hanya fokus pada hasil akademik tetapi juga pada pembentukan karakter siswa. Kurikulum harus diperbarui secara berkala untuk memastikan relevansi dengan kebutuhan lokal dan global serta mengatasi kesenjangan yang ada.

Sebagai langkah konkret, program-program pelatihan bagi guru perlu diperluas untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam mengajar dan membimbing siswa secara holistik. Selain itu, penting untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan evaluasi agar kebijakan pendidikan yang diterapkan dapat memberikan dampak positif secara menyeluruh.

Dengan mengedepankan integritas dan etika dalam pendidikan serta memanfaatkan kemajuan teknologi secara bijak, kita dapat memenuhi harapan Ki Hajar Dewantara dan menghadapi tantangan pendidikan global dengan lebih baik, menciptakan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga berakhlak mulia.

Kalibata, Senin 5 Agustus 2024, 04.18 Wib.