Oleh: Wawan Leak – Aktivis 80an
Transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto sejatinya menandai berakhirnya satu babak dan dimulainya era baru dalam kepemimpinan nasional. Namun publik mulai mencium gejala tak biasa yakni munculnya second opinion dalam pemerintahan, yang diduga berasal dari bayang-bayang kekuasaan lama. Fenomena ini semakin jelas saat beberapa menteri warisan Jokowi melontarkan pernyataan politik yang tak sejalan dengan arah Presiden Prabowo. Situasi ini bukan hanya membingungkan, tetapi berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan.
Beberapa menteri aktif dalam kabinet Prabowo diketahui masih terafiliasi secara politik dan psikologis dengan mantan Presiden Jokowi. Mereka menjadi jembatan dari sebuah kekuatan lama yang enggan melepas cengkeraman. Dalam sistem pemerintahan presidensial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Maka ketika para pembantunya justru menunjukkan loyalitas ganda, ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi bentuk nyata insubordinasi.
Lebih dari itu, kunjungan peserta Sespimen Polri ke kediaman pribadi mantan presiden di Solo bukan sekadar seremoni. Ini simbol. Simbol bahwa ada upaya sistematis menjaga pengaruh, membentuk poros kekuasaan alternatif di luar struktur pemerintahan sah. Rakyat pun dibuat bingung, siapa yang sebenarnya sedang memimpin?
Kudeta Halus dari Sang Mantan
Banyak pihak meyakini ada upaya kudeta halus (silent coup) terhadap Prabowo. Tidak dalam bentuk militeristik, tetapi dalam bentuk pembusukan institusional dari dalam. Ini dilakukan oleh segelintir elite yang merasa terancam apabila “gunung es” persoalan warisan pemerintahan masa lalu mencair. Mereka cemas, publik akan membuka catatan-catatan kelam 10 tahun kekuasaan sebelumnya,.mulai dari proyek mercusuar yang tak berkelanjutan, hingga potensi skandal dalam pengelolaan sumber daya dan anggaran negara.
Inilah alasan mengapa mantan presiden masih terus tampil, masih ingin memegang kendali, bahkan terkesan belum siap menjadi negarawan sepenuhnya. Sebuah sindrom kekuasaan yang umum terjadi dalam politik transisi di negara demokrasi yang belum matang sepenuhnya.
Berbeda dengan pendahulunya, Prabowo memiliki fondasi historis yang kuat. Ia bukan hanya berasal dari keluarga nasionalis, namun juga seorang prajurit dan patriot yang mengerti etika kekuasaan. Prabowo juga tak sedang bermain sandiwara politik. Ia tahu medan, dan paham bahwa di belakangnya kini berdiri rakyat yang menginginkan ketegasan, bukan kompromi dengan masa lalu.
Karena itu, segala bentuk pembangkangan politik, baik yang terbuka maupun terselubung, mesti disikapi secara konstitusional namun tegas. Demokrasi tidak mengenal dua pemimpin. Loyalitas kepada presiden terpilih bukan hanya soal etika, tetapi amanat konstitusi.
Tidak Ada Dua Matahari di Langit Demokrasi
Masyarakat Indonesia kian dewasa. Mereka mulai paham bahwa tidak ada ruang bagi dua kekuasaan dalam satu negara. Narasi “matahari kembar” yang sempat beredar hanyalah upaya pembenaran dari pihak-pihak yang belum rela kehilangan panggung. Indonesia hanya punya satu matahari politik saat ini, Prabowo Subianto.
Dan rakyat siap menjadi penjaga langit demokrasi itu agar tetap jernih, tidak dikaburkan oleh awan kekuasaan lama yang enggan menghilang.
Editor: Agusto Sulistio