Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Pakar Pertahanan, Alumnus Doktoral Strategi Pertahanan Unhan RI, Dina Hidayana, mengingatkan Pemimpin Indonesia di semua lini untuk tidak terus terlena dengan manuver dan intrik politik yang tidak substansial, sehingga mengabaikan kepekaan dalam menghadapi ketidakpastian global dan resiko turbulensi yang semakin curam dan berpotensi membahayakan bangsa dalam jangka panjang.
Hal tersebut disampaikan Dina usai mengikuti Dialog Demokrasi di Habibie Center kawasan Kemang, Jakarta Selatan (28/8/2024).
Dina mengatakan, Kondisi ekstrim akibat pergeseran era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiquity) menuju TUNA (Turbulency, Uncertainty, Novelty, Ambiquity) perlu diwaspadai dan diantisipasi secara detil dan cermat agar Indonesia tidak turut terjebak dalam multikrisis dan efek perang modern.
“Tanpa upaya pencegahan (mitigasi) yang serius melalui reformulasi rancang bangun sistem strategi perencanaan, proyeksi ancaman dan pengawasan memadai, maka kekacauan dan runtuhnya kedigdayaan negara bukan hal mustahil,” urai putri (Alm) Mardani Akabri ‘74 ini.
Dina memandang adagium “si vis pacem, para bellum”, yang artinya jika menginginkan damai maka bersiaplah perang masih relevan dengan strategi pertahanan kontemporer. Kondisi masa damai justru lebih rumit dibandingkan masa perang, mengingat “war time” hanya berfokus pada pelaksanaan dan kemenangan perang tanpa mengindahkan efisiensi.
“Sementara, “peace time” menuntut efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya nasional yang terbatas, baik itu SDM maupun SDA untuk eksistensi berkesinambungan,” imbuhnya.
Lebih lanjut kata Dina, fakta bahwa masyarakat dan aktor politik kekinian cenderung disibukkan dengan perebutan kekuasaan atau suksesi kepemimpinan di berbagai organisasi dan institusi tanpa mengindahkan visi dan solusi kongkrit yang ditawarkan dalam mengatasi berbagai persoalan dan ancaman bagi masyarakat dan masa depan negeri.
Baru saja publik selesai dengan urusan pemilihan Presiden dan para Legislator yang masih menyisakan polemik, beberapa bulan ke depan sudah dihadapkan kembali dengan Pemilu tingkat daerah, yakni pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pertanyaannya, ide dan gagasan seperti apa yang dimiliki para kandidat dalam memitigasi wilayah-wilayah di Indonesia dalam menghadapi perang terbuka dan asimetris hingga ancaman multikrisis? “tanya” Dina, srikandi berdarah mataram ini.
Konflik Rusia-Ukraina, penguatan Blok Barat dan Blok Timur, pertarungan hegemoni Amerika dan Tiongkok, serangan siber ke berbagai institusi pemerintah serta berbagai dinamika global telah menjadi ancaman serius bagi eksistensi negeri yang lemah dalam kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya nasional. Pemimpin visioner yang mampu mengkolaborasikan kekuatan dalam menghadapi masa damai dan masa perang adalah jawabannya, “urai” Dina.
Evaluasi kekuatan militer dari perspektif tradisional, nampak dalam capaian target kekuatan pokok minimal atau Minimum Essential Force (MEF) Pertahanan Indonesia selama kurun waktu 15 tahun sejak dicanangkan tahun 2007. Diketahui hingga tahap ketiga (2020-2024) masih dibawah 70%.
Meskipun demikian, Indeks Kekuatan Militer yang diukur oleh Global Fire Power Tahun 2024, Indonesia berada di peringkat 13 dari 145 Negara, dan merupakan yang tertinggi di ASEAN, namun masih kalah jauh dibandingkan Negara Pakistan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Bonn International Center for Conflict Studies (BICC) menempatkan Indonesia di rangking 124 dari 149 negara, atas penilaian variabel militer dan nonmiliter.
Selain itu perlu diwaspadai penurunan indeks perdamaian global kurun 2021-2023 yang dirilis Institute for Economic and Peace (IEP), Indonesia peringkat 53 dari 163 negara. Eskalasi kekerasan di Papua menjadi salah satu penyebab utama turun drastisnya skor indeks perdamaian yang semula di rangking 47.
Sementara berdasarkan indeks inovasi dunia yang dikaji oleh Global Innovation Index (GII) tahun 2023, Indonesia dinilai belum kompetitif, peringkat 61 dari 132 negara. Skor dinilai masih rendah dalam beberapa indikator, diantaranya hal kreativitas, tingkat pengetahuan dan teknologi, kemampuan riset dan pendidikan, serta investasi dan kecanggihan bisnis.
Dina mengungkapkan, Terhadap mitigasi multikrisis, seperti krisis pangan, air, energi ataupun finansial serta masifnya dampak perubahan iklim dan ketidakpastian global di era VUCA dan TUNA, tidak bisa lagi dihadapi dengan cara biasa.
Menurutnya, Perlu ide-ide revolusioner yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya nasional secara efektif efisien yang dipadukan dengan kepentingan nasional dan tujuan bernegara.
“Skenario apa yang telah disiapkan para pemimpin di semua tingkatan, baik nasional maupun level daerah dalam memitigasi resiko ancaman global dan domestik? Masyarakat menantikan solusi kongkrit para pemimpin ketimbang polemik politik yang menguras energi dan dominan mudhorat, “pungkas” Dina Hidayana. (Amhar)