Oleh: Indra Tranggono – Esais, Cerpenis, Praktisi Budaya (Sumber: Kompasiana)
Ada atau tidak ada kontroversi, puisi esai yang digagas dan diperjuangkan Denny JA, terus hadir dan mengalir. Kali ini, 12, 13 dan 14 Desember 2024, di Taman Ismail Marzuki Jakarta (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin-Teater Asrul Sani) digelar Festival Puisi Esai tingkat ASEAN. Ada baca/pertunjukan puisi esai, seminar, diskusi, penghargaan sastra (derma kata) dan lainnya. Puisi esai, sebagai sebuah genre dan gerakan sastra/budaya, semakin menunjukkan eksistensinya.
Dalam konteks demokratisasi seni, sah-sah saja orang menulis dan mendukung gerakan puisi esai. Itu sama sahnya dengan orang yang menulis dan mendukung puisi imajis, puisi suasana atau sastra yang berkiblat pada estetisme.
Biarkan setiap entitas sastra/puisi berkembang menemukan dunianya demi memberikan makna bagi kehidupan. Yang diuntungkan adalah masyarakat. Mereka jadi punya pilihan yang beragam.
“Kalau saya menulis puisi esai, bukan berarti saya anti puisi jenis lain. Puisi esai, saya anggap sangat terbuka mengakomodasi ide sosial dan estetika. Saya bisa bicara banyak hal. Dari persoalan sosial, politik, isu anti-diskriminasi sampai tema cinta berbalut ketidakadilan. Yang penting, puisi esai selalu terlibat dengan pelbagai persoalan sosial. Tidak steril.” Itu pengakuan aktivis demokrasi yang sejak tahun 1980-an menekuni puisi, Isti Nugroho.
Isti pun telah menerbitkan buku antologi puisi esai bertajuk “Negara dalam Gerimis Puisi” (Agustus, 2024). Dan, salah satu puisi esai karya Isti, “Doktrin Sinatra” akan ditampilkan dalam Festival Puisi Esai ASEAN 2004 (13 Desember 2024). Iringan musik yang digarap Agusto Sulistio.
Isti menekankan, puisi esai sangat relevan dengan tantangan para penyair untuk selalu melakukan eksplorasi baik ide maupun estetika. Sebagai media, puisi esai terbuka bagi munculnya berbagai kemungkinan. “Medan garapan puisi, pun jadi semakin luas,”ujar Isti.
Isti hanyalah salah satu contoh. Di luar Isti tentu banyak penyair yang tertarik menulis puisi esai.
Tantangan Kreatif
Apa saja batasan atau definisi puisi esai? Menurut Denny JA, sebuah karya tulis dapat disebut sebagai puisi esai apabila telah memenuhi empat kriteria. Yaitu (1) sisi batin dan sisi kehidupan kemanusiaan tokoh utama tergambar dengan jelas, (2) tata bahasanya indah dan mudah dipahami, (3) pengalaman batin dan fakta sosial dikemukakan melalui catatan kaki dan (4) menyajikan data dan fakta sosial yang mampu membuat pembaca memahami kondisi tokoh utama dalam cerita.
Berdasarkan definisi di atas, menulis puisi esai tidak gampang atau sembarangan. Pertama penulis puisi esai harus memiliki kemampuan menggali dan mengeksplorasi kejiwaan dan kamanusiaan. Ini membutuhkan pengetahuan dan daya analisis psikologi manusia.
Kedua, penulis puisi esai dituntut memiliki kekayaan sekaligus kemampuan mengolah bahasa menjadi ungkapan-ungkapan yang puitik. Bahasa tak sekadar piranti komunikasi verbal, melainkan juga entitas estetik yang memiliki daya sengat baik secara semiotik maupun semantik.
Ketiga, pentingnya kemampuan referensial atas persoalan yang diangkat ke dalam puisi esai. Artinya, dibutuhkan riset. Yakni, riset sosial, riset pustaka dan riset seni/budaya.
Keempat, pentingnya penguasaan persoalan berbasis akurasi data dan fakta persoalan yang terkait dengan tokoh utama yang diangkat ke dalam puisi esai. Sehingga kehadiran tokoh –dengan seluruh persoalannya itu– meyakinkan pembaca. Keyakinan ini menjadi kunci yang memungkinkan pembaca bisa tersentuh, tergugah dan terinspirasi.
Kelima. Pentingnya intuisi dan imajinasi. Kepekaan intuitif mendorong penulis untuk menemukan nilai-nilai substansial dari balik persoalan.
Adapun imajinasi merupakan daya pikir dan daya “kayali” (bukan dalam arti mengada-ada atau mencari-cari) yang menghadirkan –istilah sastrawan/budayawan Kuntowijoyo—dunia alternatif/imajiner yang mensubversi “realitas formal”.
Kodrat Puisi Esai
Setiap karya seni memiliki hakekat dan kondrat. Hakekat terkait nilai-nilai substansial yang dikandung karya seni, bisa berupa cara pandang, orientasi nilai, ideologi dan seterusnya. Adapun kodrat adalah nilai-nilai tertentu yang melekat pada eksistensi. Kodrat tersebut ditentukan konstruksi kebudayaan yang mengelilinginya.
Puisi esai telah hadir menjadi entitas estetik dan sosial/kultural, lengkap dengan ciri-ciri dan orientasinya. Di dalam puisi esai melekat kodrat kebudayaan yang menentukan trayektori pencapaian nilai-nilai.
Biarkan puisi esai berjalan dan berkembang dengan kodrat kebudayaannya. Ketangguhan puisi esai ditentukan daya juang kreatif para penulis/pendukung dan daya keberterimaan publik atas dirinya. Itu semua merupakan proses yang tidak pernah selesai. Dan, proses tidak bisa diadili. Di sini, demokratisasi seni–yang selalu lantang disuarakan banyak orang itu–sedang diuji.
Kini demokratisasi seni itu sedang dirayakan antara lain melalui Festival Puisi Esai ASEAN 22024. Kita pun menunggu makna yang dimunculkan.
(Agt/PM)