https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Netizen, Kerja Keras Pengacara dan Keseriusan POLRI Pada Kasus Pegi Setiawan

Jul 16, 2024 #Agusto Sulistio

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an.

Saat menjawab pertanyaan wartawan seputar dibebaskannya Pegi Setiawan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Komjen Wahyu Widada, Kepala Bareskrim Polri, akan mengevaluasi proses hukum yang menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon. Wahyu menegaskan bahwa tidak ada penegakan sebagai tersangka tanpa bukti yang cukup. Setelah kalah dalam praperadilan di PN Bandung, Wahyu akan mengevaluasi dan mencari bukti baru sebelum menetapkan kembali Pegi sebagai tersangka. Wahyu juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan agar penanganan kasus ini transparan dan profesional.

Divpropam Polri dan Itwasum Polri ikut mengevaluasi penyidik yang menangani kasus ini, menurut Wahyu. Proses evaluasi ini berlangsung secara kolektif. Sebelumnya, Pegi Setiawan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky pada 2016, namun praperadilan di PN Bandung pada 8 Juli mengabulkan permohonannya dan Hakim Tunggal Eman Sulaeman menyatakan penetapan tersangka oleh Polda Jawa Barat tidak sah.

Penulis memakai bahwa pernyataan Kabareskrim, Komjen Wahyu Widada, mengandung makna penting terkait prinsip hukum yang berlaku di Indonesia yang menegaskan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti yang cukup dan valid. Ini menunjukkan komitmen Polri untuk menjalankan proses hukum yang adil dan transparan. Bahkan jauh sebelumnya Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengarahkan kepada jajarannya agar proses penyelidikan perkara harus mengedepankan profesionalitas kerja dengan pendekatan etika kemanusiaan dan scientific ilmiah penyelidikan. Pernyataan Kabareskrim dan arahan Kapolri dapat diartikan sebagai keseriusan dan komitmen Polri dalam proses penyelidikan kasus, sekaligus meminimalkan terjadinya kasus salah tangkap seperti yang menimpa Pegi Setiawan.

Dalam konteks dibebaskannya Pegi Setiawan oleh Pengadilan Negeri Bandung, pernyataan Wahyu menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap bukti yang ada. Tujuannya adalah memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan berdasarkan bukti yang kuat dan tidak ada pemaksaan dalam menetapkan tersangka. Hal ini juga mencerminkan upaya Polri untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam menangani kasus-kasus kriminal, serta membuka ruang partisipasi publik untuk memberikan masukan.

Ini salah satu bukti keseriusan Polri dibawah kepemimpinan Listyo Sigit berkomitmen mengedepankan kebenaran dan keadilan. Penulis mengapresiasi kerja dari tim kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM, SH, MH,.dkk, bahwa mereka telah menjalankan fungsinya sebagai pengacara yang berpihak pada fakta kebenaran. Berkat kerja keras tim pengacara serta dukungan besar netizen keputusan pengadilan melalui Hakim Eman Sulaeman mampu menegakkan kebenaran, ditengah carut marutnya masalah rule of law di Indonesia. Kemenangan ini perlu menjadi contoh motivasi dan tauladan masyarakat luas guna terciptanya keadilan hukum yang tegas dan jujur. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada proses hukum pengungkapan kasus Sambo, yang mana pengacara atas dukungan netizen, pers serta pimpinan Polri mampu menyelesaikan proses hukum dengan baik tanpa menimbulkan dampak negatif lebih luas.

Karenanya sangat wajar jika kemudian kini Tim Pengacara Toni RM, Pegi Setiawan mendapat simpati luas dari banyak kalangan masyarakat. Ini mencerminkan sikap tegas Tim Hukum Pegi Setiawan dan Netizen yang logis memiliki prinsip bahwa “Sekalipun Langit Runtuh Kebenaran Harus Ditegakkan”.

Tanggung terhadap Korban Salah Tangkap

Polri memiliki tanggung jawab besar terhadap korban salah tangkap seperti Pegi Setiawan. Mereka harus memberikan kompensasi finansial untuk menutupi kerugian ekonomi korban selama penahanan, termasuk hilangnya pendapatan dan biaya hukum. Selain itu, Polri harus secara resmi membersihkan nama baik korban melalui pernyataan publik dan publikasi permintaan maaf di media massa.

Layanan konseling dan terapi psikologis juga diperlukan untuk membantu korban pulih dari trauma yang dialami. Untuk membantu korban kembali ke kehidupan normal, Polri perlu mendukung reintegrasi sosial dan dunia kerja melalui program pelatihan dan bantuan penempatan kerja. Transparansi dalam proses investigasi dan penanganan kasus kriminal harus ditingkatkan untuk mencegah salah tangkap di masa mendatang, dengan memastikan adanya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kuat.

Contoh Kasus Korban Salah Tangkap di Indonesia dan Dunia

Kasus Siyono di Indonesia pada tahun 2016 menyorot tindakan Densus 88 yang menangkapnya atas dugaan terorisme. Siyono meninggal dalam tahanan, memicu kemarahan publik akibat dugaan kekerasan selama interogasi. Kepolisian memberikan kompensasi Rp 100 juta kepada keluarganya. Media melaporkan kasus ini secara luas, menyoroti dugaan penyiksaan oleh aparat.

Di Amerika Serikat, Ricky Jackson dipenjara 39 tahun atas tuduhan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Setelah saksi utama mencabut keterangannya, Jackson dibebaskan pada November 2014 dan menerima kompensasi $1 juta dari negara bagian Ohio. Kasus ini menarik perhatian media yang menyoroti ketidakadilan yang dialami Jackson.

Barry George di Inggris dipenjara delapan tahun atas tuduhan pembunuhan jurnalis Jill Dando. Dia dibebaskan pada 2007 setelah pengadilan menemukan bukti tidak cukup kuat. George mengajukan klaim kompensasi £1,4 juta, namun pemerintah menolaknya. Media Inggris banyak melaporkan kekurangan dalam proses penyelidikan dan penuntutan.

Di Jepang, Iwao Hakamada dipenjara 48 tahun dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan. Dia dibebaskan pada 2014 setelah bukti DNA tidak mendukung tuduhan tersebut. Kasus ini menjadi simbol ketidakadilan dalam sistem peradilan Jepang dan dilaporkan luas oleh media internasional.

Terkait kasus salah tangkap, Kepolisian harus memberikan kompensasi finansial, memulihkan nama baik korban, dan menyediakan dukungan psikologis serta bantuan reintegrasi sosial. Kasus Siyono menunjukkan pentingnya kompensasi meskipun kritik terhadap metode interogasi tetap ada.

Peran Pers dan Netizen

Pers memainkan peran penting dalam mengungkap ketidakadilan. Pelaporan obyektif dan berbasis fakta membantu meningkatkan kesadaran publik tentang kesalahan penangkapan dan mendorong reformasi sistem peradilan. Misalnya, liputan media tentang Ricky Jackson membantu mengungkap ketidakadilan yang dialaminya dan mendorong kompensasi dari negara bagian tersebut.

Dalam kasus salah tangkap, tanggung jawab Polri adalah untuk menjalankan penyelidikan dan penangkapan dengan cermat, menghindari penahanan yang salah dan melindungi hak individu. Pers bertanggung jawab untuk melaporkan kasus dengan akurat dan objektif, memastikan informasi yang disampaikan kepada publik benar dan tidak menyesatkan. Netizen memiliki peran dalam mendukung penegakan keadilan dengan menyebarkan informasi yang benar dan mengedepankan kebenaran hukum dalam opini mereka, menghindari penyebaran informasi palsu, hoax atau prejudis.

Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 16 Juli 2024, 04.18 Wib