Hingga April 2025, tercatat 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) resmi ditutup oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini adalah angka tertinggi sepanjang sejarah pengawasan perbankan Indonesia, jauh melampaui rerata tahunan yang biasanya hanya 6–7 bank. Namun, di tengah angka yang mencengangkan itu, pejabat OJK justru menyebutnya sebagai “indikasi yang baik”. Apakah ini pernyataan yang optimistis atau sekadar pengalihan dari persoalan yang lebih serius?
*Penutupan Tanpa Gejolak, Simbol Kuatnya Sistem atau Red Flag?*
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, tutupnya 20 BPR tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Sistem dianggap berhasil menjaga stabilitas dan kepercayaan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun bergerak cepat mengamankan simpanan masyarakat.
Namun, publik patut bertanya: apakah tidak adanya gejolak berarti tidak ada masalah? Ataukah masyarakat memang tidak cukup sadar bahwa bank tempat mereka menyimpan uang ternyata kolaps diam-diam?
Yang menjadi sorotan utama adalah penyebab di balik bangkrutnya BPR-BPR tersebut. Direktur Eksekutif Hukum LPS, Ary Zulfikar, menyebutkan bahwa mayoritas kasus melibatkan fraud (penipuan) yang dilakukan oleh internal BPR itu sendiri mulai dari direksi, pemegang saham, hingga pegawai.
Ada tiga modus besar yang umum terjadi.
Kredit fiktif dan kerja sama ilegal: Calon debitur bekerja sama dengan direksi atau pegawai untuk mendapatkan kredit tanpa proses penilaian, lalu melakukan kickback ke pejabat bank. Bahkan ada proyek yang sepenuhnya fiktif.
Kredit “topengan”: Data pribadi, seperti KTP, digunakan tanpa izin untuk mencairkan kredit yang tak pernah diajukan oleh nama yang bersangkutan.
Penggelapan dana nasabah: Dana simpanan nasabah ditarik tanpa sepengetahuan mereka. Karena proses manual dan lemahnya pengawasan, penyalahgunaan ini sering tidak terdeteksi.
Masalah utamanya bukan hanya fraud, tapi gagalnya sistem pengawasan internal dan eksternal. Bahkan sistem pengawasan berjenjang yang semestinya menjadi benteng terakhir gagal mendeteksi, apalagi mencegah.
Ary menegaskan bahwa minimnya pemanfaatan teknologi informasi di BPR membuka celah besar bagi penipuan. Dengan sistem digital yang mumpuni, kredit bodong dapat difilter, transaksi bisa dipantau real-time, dan rekam jejak keuangan lebih transparan. Tapi sayangnya, sebagian besar BPR masih tertinggal dalam hal ini.
Jika negara ingin menyelamatkan industri keuangan mikro, maka digitalisasi dan pengawasan berbasis IT harus segera diwajibkan bukan sekadar imbauan.
Momentum Pembenahan atau Bom Waktu?
Penutupan 20 BPR memang tidak mengguncang ekonomi nasional secara langsung. Tapi ini harus menjadi wake-up call serius. BPR sejatinya adalah tulang punggung perbankan mikro di daerah, tempat masyarakat kecil menyimpan uang, dan pelaku UMKM mengakses kredit. Jika BPR tumbang karena fraud berjemaah dan pengawasan longgar, maka yang terdampak bukan hanya angka-angka, tetapi nasib rakyat kecil.
Yang diperlukan ke depan bukan sekadar stabilitas semu, tapi reformasi struktural dalam tata kelola dan pengawasan perbankan. OJK dan LPS harus mempercepat transformasi digital BPR, membenahi SDM, dan menindak tegas oknum pengurus yang terlibat fraud. Publik juga perlu diberikan informasi yang jelas agar tidak kehilangan kepercayaan.
Berikut 20 BPR yang resmi ditutup hingga April 2025
BPR Sembilan Mutiara
BPR Bali Artha Anugrah
BPRS Saka Dana Mulia
BPR Dananta
BPR Bank Jepara Artha
BPR Wijaya Kusuma
BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda)
BPR Usaha Madani Karya Mulia
BPR Pasar Bhakti Sidoarjo
BPR Purworejo
BPR EDC Cash
BPR Aceh Utara
BPR Lubuk Raya Mandiri
BPR Sumber Artha Waru Agung
BPR Nature Primadana Capital
BPRS Kota Juang (Perseroda)
BPR Duta Niaga
BPR Pakan Rabaa
BPR Kencana
BPR Arfak Indonesia
Penutup
Gelombang penutupan BPR ini adalah alarm keras bahwa sistem perbankan mikro kita sedang sakit. Tidak cukup dengan pernyataan menenangkan. Rakyat butuh perlindungan nyata, pengawasan yang tegas, dan transparansi informasi. Jangan sampai “bangkrut diam-diam” ini jadi bom waktu yang meledak di kemudian hari, menggerus kepercayaan terhadap seluruh sistem keuangan nasional.
Editor: Agusto Sulistio.