https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Rekomendasi Transisi Energi oleh IEA Menciptakan Kekhawatiran AS

Jun 12, 2024

Oleh: Archandra Tahar

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan Maret 2024, Komite bidang Energy and Natural Resource US Senate dan Komite bidang Energy and Commerce US Congress menulis surat teguran kepada Direktur Eksekutif International Energi Agency (IEA). Selama ini hubugan antara IEA dan Amerika Serikat (AS) sangat dekat dan AS bisa memberikan nasehat tanpa harus menulis surat secara terbuka kepada IEA. Apakah ada hal yang sangat penting yang bisa membuat kebijakan energi AS terganggu?

Sebelum kita membahas surat tersebut, kita sebaiknya paham dulu kenapa IEA ini berdiri. Sewaktu terjadi krisis energi yang melanda AS tahun 1973-1974 yang disebabkan karena embargo minyak oleh negara-negara produsen minyak dunia terutama Arab Saudi, berakibat pada melambungnya harga minyak ke level tertinggi pada saat itu. Negara-negara industri maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang selama ini sangat bergantung akan impor minyak menjadi ikut terganggu dengan harga minyak yang tinggi ini.

Untuk menghadapi krisis energi ini, tahun 1974 OECD memprakarsai berdirinya IEA di Paris dengan mandat utama untuk menjamin ketersedian suplai minyak dunia. Energy security yang berfokus pada minyak menjadi misi utama dari IEA. Kebijakan-kebijakan dirancang agar krisis energi bisa dicegah sedini mungkin. Kerjasama antar negara juga dintensifkan agar supply dan demand bisa terjaga dengan baik.

Pada tahun 2015, IEA yang sangat fokus pada minyak bumi memperluas dan mengubah strateginya ke energy security beyond oil. Hal ini tentu tidak terlepas dengan ditunjuknya Direktur Eksekutif baru, Fatih Birol yang sangat concern terhadap isu-isu lingkungan.

Dengan latar belakang sejarah pendirian IEA kemudian sekarang dipimpin oleh Direktur Eksekutif yang concern dengan isu lingkungan, maka cepat atau lambat akan terjadi perbedaan dalam menyikapi energy security dan energy transition. Memang dua hal ini kelihatannya bisa saling mendukung tapi pada situasi tertentu bisa saling bertentangan. Kenapa bisa?

Secara bebas kita bisa menterjemahkan energy security dengan kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan energinya secara terus menerus dengan harga yang terjangkau. Sementara energy transition adalah suatu masa dimana kebutuhan energi manusia harus beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Permasalahan muncul apabila kebijakan sebuah negara lebih fokus kepada pemenuhan kebutuhan energi secara terjangkau (energy security) daripada beralih ke energi terbarukan (energy transition). Disinilah kita bisa membaca secara tidak langsung apa yang menjadi kekhawatiran AS terhadap energy transition ini sehingga keluar surat teguran ke IEA.

Beberapa hal yang bisa kita pelajari secara tidak langsung dari surat Komite Bidang Energy Senate dan Congress AS ini adalah, pertama, beberapa rekomendasi dan kebijakan yang disarankan oleh IEA ditengarai tidak lagi berdasarkan energy modelling yang berbasis data-data yang berimbang. Keberpihakan IEA kepada isu-isu perubahan iklim dan kurang mempertimbangkan data-data dari segi energi fosil mengakibatkan pembuat kebijakan di banyak negara bisa salah arah dalam implementasi transisi energi.

Kedua, rekomendasi IEA yang menyarankan untuk tidak lagi berinvestasi di oil dan gas adalah sesuatu yang perlu dikaji ulang. Hal ini tentu tidak sejalan lagi dengan mandat yang diberikan oleh anggota OECD kepada IEA untuk menjamin ketersedian energi terutama minyak. Posisi IEA dalam masa energy transition ini bisa membahayakan keamanan suplai dari sumber energi fosil.

Ketiga, ketidakpercayaan Fatih Birol terhadap peran oil and gas dalam masa energy transition berkembang menjadi isu leadership beliau dalam memberikan masukan yang tepat ke pembuat kebijakan di negara anggota IEA. Salah satu contoh akibat dari data-data yang dikeluarkan oleh IEA adalah the US Department of Energy memutuskan untuk menunda pemberian izin ekspor LNG untuk batas waktu yang tidak ditentukan.

Untuk jangka pendek, penundaan izin ekspor LNG akan merusak iklim investasi di bidang LNG yang sedang berkembang pesat di AS. Untuk jangka panjang penundaan ini bisa membahayakan ketersedian LNG dimasa datang.

Keempat, prediksi demand minyak dan gas kedepan yang dikeluarkan oleh IAE sangat jauh berbeda dengan organisasi lain seperti BP, ExxonMobil, OPEC dan Energy Economic di Jepang. Menurut IEA pertumbuhan kebutuhan gas dunia hanya 4% dari tahun 2020 sampai 2050, sementara organisasi lain memperkirakan antara 23% dan 47%. Jauh sekali bedanya.

Dari semua yang kita pelajari diatas, yang paling mengkhawatirkan adalah kalau forecast kebutuhan minyak dan gas oleh IEA tidak akurat sementara negara producer dan perusahaan energi dunia terlanjur mengurangi investasi. Akibatnya kita akan kekurangan minyak dan gas yang bisa membuat harga tidak terkendali dalam masa transisi energi ini.

Inilah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya dari surat Komite Energy Senat dan Congress AS. Semoga bermanfaat.

Sumber Gambar : Energy News

Diskusi ini dapat diikuti pada Instagram @Arcandra.Tahar

https://www.instagram.com/p/C8GKHMoypzC/?igsh=MTFpdXRkNXAzbmxmNw==