Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Terbitnya PP. No. 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (“TAPERA”) pada tanggal 20 Mei 2024 yang lalu menimbulkan polemik dari kalangan pekerja dan dunia usaha di Daerah Khusus (DK) Jakarta, untuk mewakili kepentingan mereka, pada hari ini, kami yang terdiri dari, yakni:
1) Ketua, Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP APINDO) DK Jakarta
2) Ketua, FSP Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI)
3) Ketua, FSP Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI KSBSI)
4) Ketua, FSP Serikat Pekerja Nasional (SPN/KSPI)
5) Presiden, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia)
6) Ketua, FSB Kimia Industri Umum, Farmasi, Kesehatan (KIKES)
7) Ketua, FSP Kimia Energi Pertambangan (KEP)
8) Ketua, FSP Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (PAREKRAF).
Dengan ini, Kami menyampaikan permintaan kepada pemerintah untuk membatalkan implementasi TAPERA kepada perusahaan dan pekerja swasta sebagai suatu kewajiban.
DPP APINDO dan FSP Pekerja DK Jakarta menghargai setiap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, termasuk kebijakan perumahan untuk pekerja.
Namun, Dr. Solihin, Ketua DPP APINDO DKJ menambahkan bahwa selama sosialisasi program TAPERA sejak tahun 2016, DPP APINDO DK Jakarta sudah menyatakan keberatan atas implementasi program tersebut untuk perusahaan swasta.
“Karena BPJS Ketenagakerjaan telah menyediakan fasilitas serupa dari Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dalam program Jaminan Hari Tua (JHT). Jadi program TAPERA ini tumpeng tindih dengan program yang sudah ada sebelumnya,” kata Solihin.
Selain tumpang tindih, menurut Eri Wibowo, Wakil Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), “Program TAPERA tidak menjamin pemilikan rumah bagi seluruh pekerja, karena terbatas hanya kepada pekerja berpenghasilan rendah”. Sedangkan dalam program perumahan pada MLT BPJS Ketenagakerjaan, berlaku bagi setiap pekerja yang memenuhi
persyaratan.
Mengenai iuran TAPERA, Solihin menilai pungutan sebesar 0,5% kepada pengusaha menjadi beban tambahan. “Total pungutan yang menjadi beban pengusaha saat ini sudah mencapai 18,24 – 19,74%”, ujar Solihin.
Senada dengan pengusaha, beban tambahan iuran TAPERA bagi pekerja, menurut Bambang Getero SH, Ketua DPC FSB Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI/KSBSI) Jakarta, mengatakan bahwa nilai uran 2,5% itu besar, dibandingkan kenaikan UMP Jakarta.
“Hal ini memberatkan pekerja karena akan mengurangi daya beli pekerja di tengah kondisi perekonomian yang berat saat ini,” imbuhnya.
Muhammad Andre Nasrullah, Ketua Federasi Serikat Pekerja Nasional (SPN), menambahkan, “buruh/pekerja swasta memiliki potensi PHK yang tinggi (seperti buruh kontrak, outsouring dan buruh informal), sehingga kesinambungan bekerjanya terbatas, maka mekanisme pencairan dana atau keberlanjutannya menjadi sulit,” ujarnya
Dia tambahkan, “Berbeda dengan PNS, TNI/Polri yang masa kerjanya lebih stabil dan berjangka panjang,” ujar Muhammad Andre.
Surya Kencana, Ketua FSB Kimia Industri Umum, Farmasi, Kesehatan (KIKES), memiliki pandangan yang sama dengan Andre, oleh karena itu, menurut Surya iuran TAPERA seharusnya bersifat sukarela.
Sementara itu, Yusup Suprapto, Ketua FSP Logam, Elektronik dan Metal (LEM) DK Jakarta, membandingkan pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang melibatkan unsur Pemberi Kerja dan Pekerja sebagai anggota Dewan Pengawas dan Pengawasan Internal oleh DJSN.
“Sedangkan pengelolaan TAPERA dilakukan oleh Komite yang tidak melibatkan unsur Pemberi Kerja dan Pekerja, karena program ini awalnya memang diperuntukan bagi PNS, TNI dan POLRI,” pungkasnya.
Selanjutnya, DPP APINDO dan FSP DK Jakarta akan mencermati dinamika yang berkembang ke depannya, dengan mempertimbangkan kebijakan organisasi nasional.
Kontributor : Amhar