Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Tidak ada satu pun negara yang benar-benar sempurna, bahkan setiap rezim memiliki plus minus dan tingkat keberhasilan yang bisa jadi dipersepsikan berbeda. Menghadapi tantangan dunia, Indonesia perlu percaya diri dan konkritkan prototipe SDM kompeten Nasionalis
“Meskipun demikian, ada satu kecenderungan yang nampaknya masih melekat dan itu harus segera diakhiri, yakni perasaan inferior atas negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara maju, istilahnya White Skin Syndrome,” ujar Dina kepada pikiranmerdeka, Rabu (17/7/2024).
Usai perjalanan riset Eropa-Asia beberapa waktu lalu. Dina Hidayana yang dikenal sebagai Pakar Pertahanan dan Pangan ini telah meneliti negara-negara di lima benua dalam beberapa dekade terakhir.
“Penelitian tersebut, benang merahnya adalah setiap negara, sekalipun disebut negara maju memiliki problematika dan dinamika variatif yang sama peliknya, termasuk ketergantungan dengan asing, misalnya dalam pemenuhan pangan domestik dan bahan baku industri,” ujarnya.
lanjutnya, sementara Indonesia memiliki keberlimpahan aset, selain merupakan negara kepulauan terluas di dunia berdasar bentangan wilayah dan jumlah penduduk.
“Menuju periode emas 2045, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk terus larut dalam inferiority atau perasaan rendah diri terhadap bangsa atau negara yang beberapa abad lalu dikenal sebagai “kolonial, penjajah atau bangsa kulit putih,” ungkap Dina.
Supremasi kulit putih yang diawali masa kolonialisasi Bangsa Eropa-Amerika dan berujung pada rasisme, penjajahan dan perbudakan non kulit putih terus berlangsung selama berabad-abad.
Bahkan sampai hari ini, kebijakan internasional masih didominasi oleh kekuatan “bangsa kulit putih”. Indonesia menjadi salah satu yang masih sulit beranjak dari fenomena “white skin syndrome” dalam negosiasi dan diplomasi internasional menyangkut kepentingan domestik.
“Padahal kita pernah memiliki negosiator dan ahli-ahli diplomasi ulung di masa lampau, seperti H Agus Salim dkk,” ujar Dina.
Belakangan, Indonesia justru sering kalah dalam sidang internasional, misal Sengketa dagang internasional di World Trade Organization (WTO) di kurun 2014-2018, dari 5 kasus yang telah diputuskan, Indonesia hanya mampu memenangkan satu kasus.
Contoh lain, Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean sejak 2015 sebagai pintu masuk liberalisasi kawasan Asia Tenggara dalam peniadaan arus modal, barang, jasa, investasi dan tenaga kerja meski positif di satu sisi, namun justru banyak merugikan Indonesia yang nyatanya belum siap.
“Indonesia terus dibanjiri produk importasi yang semakin menghimpit produsen lokal, bahkan menyangkut hal fundamental, yakni sektor pangan,” urainya.
Dina Hidayana mengingatkan Indonesia pernah mengalami masa kedigdayaan yang tak terbantahkan, di era pra kolonialisme. Karenanya, tidak mustahil mampu memulihkan kepercayaan diri sebagai bangsa besar dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
“Indonesia memiliki sumber bahan baku pangan dan industri yang cukup lengkap yang sangat dibutuhkan banyak negara lain di dunia, dan ini merupakan nilai tawar yang positif bagi bargaining position Indonesia, jika didayagunakan dengan tepat,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil riset dan wawancara dengan beberapa narasumber, saat ini negara empat musim bahkan sedang mengalami kecemasan serius menghadapi perubahan iklim (climate change) dan stok bahan baku pangan, ditengah minimnya SDM yang mau dan mampu bekerja di lini dan sektor tertentu yang sangat dibutuhkan. Tentu ini menjadi peluang dan kekuatan tersendiri bagi Indonesia.
“Dubes dan para scholar yang sedang menempuh studi di luar negeri dapat berfungsi sebagai spionase sekaligus politisi yang berkewajiban turba ke masyarakat setempat untuk menyerap aspirasi, sehingga diketahui secara pasti kondisi sosial ekonomi politik lokal dan kebutuhan yang dapat dipenuhi dari produksi Indonesia,” pungkas Dina.
Lebih lanjut, kata Dina, menghadapi Bonus Demografi tahun 2030an, SDM Indonesia perlu diarahkan secara serius untuk menghadapi tantangan zaman dan dinamika global.
“Kampus dan Lembaga Riset tidak bisa lagi bertindak bussiness as usual, harus visioner dan mampu sistematis progresif merespon berbagai permasalahan masa kini dan masa depan dengan mencetak generasi unggul kompeten yang benar-benar menguasai pengetahuan dan adaptif terhadap teknologi modern, berjiwa nasionalis, berbudaya dan kompetitif,” terangnya.
Dina Hidayana melihat negara atau bangsa yang selama ini diklaim sebagai negara maju pun sebagiannya mulai memasuki masa aging population, dimana populasi warga usia senja mendominasi, sementara masyarakat usia produktif relatif kecil.
“Setidaknya menjelang abad 21 masih ada satu dekade bagi Indonesia untuk mengoptimalkan penguatan SDM di semua lini menyesuaikan Visi Indonesia, sebelum bonus demografi berakhir sia-sia,” sambungnya.
Dina mengungkapkan, alokasi pembangunan SDM, seperti penelitian, pendidikan, pelatihan, pengembangan karya perlu disesuaikan dengan “wajah Indonesia (masa depan) yang diharapkan.”
“Generasi produktif perlu diarahkan untuk mampu mengaktualisasikan kemampuan terbaiknya diruang-ruang yang telah disiapkan oleh negara, dengan demikian semakin minim generasi inferior dengan white skin syndrome akut, seimbang kapabilitas dan kapasitas, pungkas srikandi asli solo Dina Hidayana, menutupnya. (Amhar)