Pikiranmerdeka.com, Tangerang – Sidang pembatalan hak asuh anak dengan nomor perkara Pdt 509 kembali dilaksanakan di Pengadilan Negeri Tangerang. Agenda sidang kali ini menghadirkan dua saksi ahli yang diajukan oleh pihak penggugat, Senin (25/11/2024).
Kuasa hukum penggugat, Erles Rareral, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kehadiran saksi ahli ini diharapkan dapat memperkuat argumen kliennya dalam sengketa hak asuh anak tersebut.
“Kami telah menghadirkan saksi ahli yang kompeten untuk memberikan analisis objektif berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku,” ujar Erles kepada awak media.
“Menurut saya, kehadiran dua saksi ahli ini sangat bagus. Hal ini memungkinkan majelis hakim untuk melihat kebenaran yang ada secara lebih objektif,” tambah Erles.
Dalam persidangan terkait hak asuh anak, Elizabeth, seorang psikiater yang dihadirkan sebagai saksi ahli, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya kondisi ibu dalam menentukan hak asuh. Ia menegaskan bahwa hak asuh anak idealnya diberikan kepada ibu, namun dengan beberapa syarat utama.
“Ibu memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama dalam aspek emosional. Namun, hak asuh hanya dapat diberikan jika sang ibu memenuhi syarat kesehatan fisik, finansial, dan mental,” ujar Elizabeth di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, ketiga aspek tersebut saling berkaitan untuk memastikan kesejahteraan anak. Kesehatan fisik diperlukan agar ibu mampu mengurus kebutuhan anak sehari-hari, kestabilan finansial untuk menjamin kebutuhan dasar anak terpenuhi, dan kesehatan mental agar ibu dapat memberikan lingkungan yang aman dan stabil bagi anak.
Disisi lain, Reza Indragiri Amriel, saksi ahli kedua yang juga merupakan Konsultan Yayasan Lentera Anak, juga memberikan kesaksian di hadapan Majelis Hakim dalam persidangan terkait hak asuh anak di Pengadilan Negeri Tangerang (Perkara Perdata 509). Dalam kesaksiannya, Reza menyampaikan pandangan mendalam terkait pengasuhan anak pasca-perceraian, yang didasari oleh pengamatannya selama lebih dari dua dekade.
Reza menyoroti bahwa hingga saat ini, baik peradilan agama maupun peradilan umum di Indonesia belum memiliki panduan baku untuk menentukan hak asuh anak. “Akibatnya, putusan tentang kuasa asuh lebih sering bergantung pada intuisi dan common sense para hakim. Hal ini berisiko menempatkan anak dalam situasi yang tidak ideal,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dirinya pernah menyusun panduan untuk menentukan kuasa asuh atas permintaan sejumlah hakim agung. Panduan tersebut, yang dirancang untuk mengedepankan kepentingan terbaik anak, telah diserahkan kepada pihak penggugat untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam persidangan ini.
Lebih lanjut, Reza menyoroti bahwa pandangan konvensional yang menganggap ibu sebagai primary caregiver sudah tidak relevan. “Prinsip universal saat ini adalah the best interest of the child, yang mencakup pengasuhan bersama (joint custody atau shared custody). Baik ayah maupun ibu memiliki kekuatan masing-masing yang dapat saling melengkapi, bahkan setelah perceraian,” ujarnya.
Namun, Reza juga menyoroti adanya kekosongan hukum dalam isu pengasuhan anak di Indonesia. Salah satunya adalah kurangnya tindakan terhadap orang tua yang menutup akses anak kepada orang tua lainnya. Menurutnya, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat, mulai dari kekerasan psikis hingga eksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi.
Sebagai solusi, Reza mengusulkan agar Majelis Hakim memerintahkan kedua pihak untuk menyusun rencana pengasuhan masing-masing. “Dari rencana ini, kita bisa menilai wawasan, kepedulian terhadap anak, dan kesiapan masing-masing pihak untuk mengelola konflik demi kepentingan anak. Proses ini juga membuka ruang untuk custodial assessment yang lebih objektif,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah ia yakin kehadiran saksi ahli dapat memperkuat posisi R. Hasan dalam memperoleh hak asuh anak, Erles menjawab dengan penuh harap.
“Semoga saja. Dengan pengetahuan yang konkret dari dua saksi ahli yang kami hadirkan, saya berharap keterangan mereka bisa dipertimbangkan untuk memberikan hak asuh anak kepada Pak Hasan,” jelasnya.
Erles juga menyampaikan harapannya menjelang sidang berikutnya yang dijadwalkan minggu depan.
“Kami berharap proses sidang berjalan lancar dan adil, sehingga dapat memberikan keputusan yang terbaik bagi kepentingan anak,” tutupnya.
Sebagai informasi, sidang berikutnya akan berlangsung 1 Desember 2024. (Amhar)