Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Hasil survei serta Analisa media sosial dari LSN dan DEEP Indonesia dipaparkan dalam
diskusi public bertajuk “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran : Catatan Kritis dan Tantangan Ke Depan. Diskusi berlangsung dikedai Tjikini Jakarta pada Kamis (23/1/2025).
Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain, Direktur Eksekutif DEEP Indonesia Neni Nur Hayati, Fishya Amina selaku peneliti LSN, pakar komunikasi politik, Gungun Heryanto, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow dan
pengamat politik Kunto Adi Wibowo.
Peneliti Lembaga Survei Nasional, Fishya Amina, mengungkapkan tiga faktor utama yang mendorong tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran; Pemeriksaan Kesehatan , “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”, serta Pelatihan kompetensi guru.
Menurutnya, Program pilar Prabowo-Gibran seperti Makan Bergizi Gratis, membangun lumbung pangan nasional, dan pemberantasan korupsi justru belum menjadi alasan utama tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Prabowo-Gibran.
“Makanan Bergizi Gratis misalnya, hanya mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 79,3%, membangun lumbung pangan nasional mendapatkan 77,6%, dan pemberantasan korupsi mendapat tingkat kepuasan terendah yaitu 69,9%,” terangnya.
Dalam diskusi ini, Direktur Eksekutif DEEP Indonesia Neni Nur Hayati berpendapat,
masih terlalu dini untuk memberikan penilaian dalam rentang 100 hari dalam peta perjalanan pemerintahan selama lima tahun kedepan.
“Namun tentu ini menjadi langkah awaal yang baik dan Neni berharap ini tidak menjadi jumawa karena langkah ke depan masih sangat Panjang,” ujarnya.
Ia berpendapat, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kepuasan masyarakat begitu tinggi. Pertama, kepuasan masyarakat terhadap implementasi kebijakan populis, misalnya yang serba gratis, makan gizi gratis, bansos dan pemeriksaan
kesehatan gratis yang dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat.
Menurutnya, insiden keracunan pangan di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan
Kalimantan Utara menyoroti lemahnya kontrol kualitas dan pengawasan.
“Bagaimana mungkin kebijakan yang dirancang untuk membantu malah menjadi ancaman bagi rakyat? Ini menunjukkan bahwa prioritas pemerintah masih pada pencitraan, bukan substansi,” kata Neni.
Ia menilai dari hasil survei terdapat program yang bukan populis seperti yang dilakukan Mendikdasmen yakni 7 kebiasaan baik adalah program yang baru tetapi masuk dalam kepuasan program di masyarakat yang bisa menanamkan akhlak dan karakter siswa.
“Tentu saja kita melihat pemerintah belum banyak melakukan hal-hal negatif. Tidak
menutup kemungkinan tatkala ada kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat atau kontraproduktif, maka tingkat kepuasan bisa menurun karena adanya kebijakan yang tidak disukai masyarakat,” tambahnya.
Neni juga menyoroti hasil survei yang menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berada di titik ekstrim. Pemberantasan korupsi ini memang masih setengah hati, karena legacy dari Presiden ke7- Joko Widodo selama dua periode terindikasi mengeluarkan kebijakan untuk untuk melemahkan lembaga KPK.
Apalagi hasil riset OCCRP yang menyampaikan Jokowi sebagai tokoh terkorup dunia. Ini tentu menjadi tantangan berat di periode Presiden Prabowo karena Jokowi menyisakan catatan kelam. Diperlukan komitmen serius dan kemauan politik untuk penegakan korupsi di Indonesia.
“Ruang komunikasi dengan masyarakat sipil harus dijaga agar setiap masukan, setiap kritik bisa disampaikan langsung. Kalau masyarakat sipil sudah berjarak dengan pemimpin, akhirnya tidak ada sinergi dalam pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Koordinator TePI Jeirry Sumampow berpendapat, tingkat kepuasan yang tinggi adalah hal yang logis karena publik terpesona kebijakan pemerintah yang populis. Dalam 100 hari pertama, Presiden sudah membuktikan janji kampanyenya dengan melaksanakan sejumlah program seperti makan bergizi gratis pada awal tahun ini.
“Program pemeriksaan kesehatan gratis mendapatkan respon positif di media sosial dari temuan DEEP Indonesia. Sebab, program ini sangat dibutuhkan masyarakat dan jelas anggarannya,” kata Jeirry.
Ia pun mengungkapkan, dari hasil penelitian ini menunjukkan dua fenomena terkait menteri yang populer di media sosial. Fenomena yang pertama, menteri yang dikenal bukan karena kebijakannya dan Menteri yang sebelumnya tidak populis tapi dikenal melalui program terobosannya seperti Mendikdasmen.
Pakar komunikasi politik, Gungun Heryanto mengapresiasi hasil temuan LSN dan DEEP Indonesia terkait evaluasi 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurutnya hasil survey dan media analitik sebagai produk akademik dan bagian penting dalam konteks diskursus publik.
Gungun menilai hasil penelitian ini sebagai survei opini yang bersifat dinamis dan bersifat parsial. Ia pun berpendapat kinerja pemerintah belum dapat diukur dalam 100 hari saja.
“Survei dan media analitik ini untuk melihat indikasi progres dari kinerja pemerintah.
Karena itu, hasil penelitian merupakan bacaan awal dan bukanlah sebuah kesimpulan,” ucap Gungun.
Pengamat politik Kunto Adi Wibowo selaku pembicara terakhir mengatakan, dirinya tidak kaget karena tingginya hasil survei karena sama dengan sejumlah lembaga lainnya.
Menurutnya, tingginya kepuasan publik meskipun terdapat sejumlah program yang
belum berjalan merupakan fenomena yang menarik.
Menurutnya lagi, masyarakat Indonesia masih memelihara bias optimisme. Hal ini berarti masyarakat tetap merasa optimis dengan pemerintah meskipun kondisinya sehari-hari masih susah.
“Bias optimisme terlihat di hasil survei ini. Terjadi kebingungan antara harapan dan kepuasan. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat harus melihat kerja yang nyata dan adanya pengawasan,” pungkasnya, menutup.
Kontributor : Amhar