Mengembalikan koperasi pada ruh Pasal 33 UUD 1945, di mana rakyat menjadi pelaku utama ekonomi dan negara menjalankan tugas konstitusional untuk memakmurkan seluruh rakyat.
Catatan dalam Semangat Bung Hatta
Oleh: Agus M Maksum
Pendahuluan: Ruh yang Terlupakan
Di negeri yang merdeka, kemakmuran rakyat tidak boleh bergantung pada kemurahan pasar atau belas kasihan modal. Kemakmuran rakyat harus dijamin oleh sistem yang adil yang di selenggarakan negara dengan segala perangkatnya yang berpihak kepada yang lemah tanpa memusuhi yang kuat.
Pasal 33 UUD 1945 dirancang bukan sekadar untuk mengatur ekonomi, tetapi untuk memastikan bahwa kemerdekaan politik diikuti oleh kedaulatan ekonomi. Dalam pasal inilah Bung Hatta menanamkan gagasan besar: bahwa perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Dalam semangat inilah koperasi lahir. Bukan sebagai instrumen negara, melainkan sebagai alat rakyat untuk bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan. Koperasi bukan perpanjangan tangan birokrasi. Ia adalah bentuk nyata dari ekonomi di mana negara memakmurkan rakyat.
Pasal 33 sebagai Panduan Aksi, Bukan Dekorasi Konstitusi
Pasal 33 ayat (1) menegaskan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Ayat (2) menyatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Ayat (3) menutup dengan amanat: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Tiga ayat ini bukan berdiri sendiri. Bung Hatta merancangnya sebagai satu kesatuan:
- Negara mengelola sumber daya vital,
- Tetapi manfaatnya harus kembali kepada rakyat,
- Dan wadah yang paling sesuai untuk itu adalah koperasi.
Jika koperasi dibiarkan hidup tanpa dukungan modal dari hasil pengelolaan kekayaan negara, maka negara abai terhadap tugas konstitusionalnya. Peran negara harus hadir dan berpihak pada rakyat dengan semangat kekeluargaan yang menjadi jiwa dari Pasal 33.
Koperasi: Bukan Instruksi, Tapi Gerakan
Koperasi sejati tumbuh dari bawah.
Ia berawal dari kesadaran rakyat bahwa hidup bersama lebih kuat daripada sendiri-sendiri.
Koperasi tidak bisa diperintah. Tapi ia bisa difasilitasi. Negara wajib hadir dengan dukungan:
- Menyediakan modal dari hasil bumi dan air,
- Menyediakan teknologi dan sistem,
- Melindungi dari persaingan yang tak adil dengan konglomerasi dan platform asing.
Namun arah, gerak, dan milik koperasi tetap di tangan rakyat. Negara membuka jalan. Rakyatlah yang melangkah.
Koperasi Digital: Menjawab Tantangan Baru
Kini zaman telah berubah. Tantangan ekonomi datang dari platform digital raksasa yang menguasai data, distribusi, dan keuntungan.
Rakyat tidak boleh hanya menjadi pasar.
Koperasi digital hadir untuk menjawab tantangan ini dengan prinsip lama dalam bentuk baru:
- Setiap transaksi anggota dicatat dan dibagikan dalam bentuk SHU Harian dan Bulanan,
- Jalur distribusi sembako dikembalikan ke koperasi rakyat,
- Sistem pembayaran dibuat sendiri oleh koperasi, bukan diserahkan ke fintech asing,
- Data dan kepemilikan digital menjadi milik bersama, bukan milik korporasi luar negeri.
Inilah koperasi masa kini: berjiwa Pancasila, berbasis teknologi, berakar di desa, dan dimiliki oleh rakyat.
Peran Negara: Melaksanakan, Bukan Menguasai
Bila negara menyediakan infrastruktur, itu adalah pelaksanaan Pasal 33.
Bila negara menyuntikkan modal dari BUMN seperti gagasan Prof Soemitro, itu adalah kewajiban, bukan kemurahan hati.
Namun bila negara abai terhadap itu, maka ia telah mengkhianati semangat Pasal 33 itu sendiri.
Perlu dibentuk mekanisme yang menghidupkan gerakan rakyat koperasi, bukan menciptakan birokrasi baru.
Salah satunya adalah dengan Pembina SHU Bulanan—duta ekonomi komunitas yang menjelaskan koperasi dari rumah ke rumah, mendata kebutuhan warga, dan membangun jalur distribusi sembako berbasis koperasi.
Bukan MLM. Bukan BLT. Tapi gerakan sosial ekonomi.
Penutup: Kembali ke Amanat 18 Agustus 1945
Kita sedang berada di persimpangan jalan sejarah.
Apakah kita akan terus melanjutkan ekonomi liberal yang menjadikan rakyat sekadar konsumen?
Ataukah kita akan kembali ke ekonomi gotong royong yang memuliakan rakyat sebagai pemilik dan pelaku?
Koperasi adalah jawabannya.
Ia bukan alat kekuasaan.
Ia bukan proyek kementerian.
Ia adalah perwujudan sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dan koperasi yang hidup, tumbuh dari bawah, difasilitasi oleh negara, dan berjiwa Pancasila—adalah jalan lurus terbaik yang pernah ditunjukkan oleh sejarah kita sendiri.
Sumber:
https://aidigital.id/berita?id_item=1046
(Agt/PM)