Lagi-Lagi Si Tambang

Jun 10, 2025 #Swary Utami Dewi

Oleh: Swary Utami Dewi – Pegiat Lingkungan Hidup, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).

Foto: Swary Utami Dewi (Ist).

Sepak-terjang tambang yang kontroversiall kembali terjadi. Kali ini, Kepulauan Raja Ampat yang menjadi sasaran tambak. Pulau Gag dan beberapa pulau lainnya terpantau citra satelit mengalami perubahan signifikan karena adanya kegiatan pertambangan nikel. Sebagai contoh, penelurusan Kompas Tekno melalui citra satelit menunjukkan bahwa aktifitas pertambangan nikel di Pulau Gag telah dilakukan sejak 2017. Perubahan yang makin signifkan terjadi jelang 2020 hingga sekarang. Berarti kegiatan itu masih terus berjalan.

Mereka yang “membela” tambang (nikel) pasti selalu berdalih bahwa ada keuntungan yang masuk ke negara. Ada pula tenaga kerja yang terserap. Tapi apakah ini sebanding dengan kehilangan dan berbagai bentuk kerugian yang dialami Indonesia dalam jangka menengah dan panjang? Ambil contoh nikel. Tulisan dari Kompas.com 23 Februari 2024 menunjukkan bahwa pelarangan ekspor bijih nikel dan peningkatan pengolahan domestik memang telah meningkatkan nilai ekspor nikel, dari USD 4 miliar pada 2017 menjadi USD 34 miliar pada 2022. Berarti ada peningkatan 750 persen.

Namun, “klaim” ini apakah sebanding dengan berbagai kerugian dan kehilangan jangka panjang yang dialami Indonesia? Data dari Kementerian Lingkungan Hidup terbaru menunjukkan betapa kaya dan berharganya Kepulauan Raja Ampat ini. Tidak main-main. Sekitar 75% spesies karang dunia dan ribuan spesies endemik bercokol di wilayah ini. Endemik berarti hanya ada di situ dan tidak ditemui di tempat lain. Dan tiga perempat dari keindahan karang dunia ternyata ada di Raja Ampat. Pernahkah dihitung berapa besar nilai semua itu?

Suku-suku yang berdiam di wilayah Raja Ampat juga banyak yang masih kental dengan adat dan tradisi. Suku-suku yang masih terikat erat dengan adat akan melihat wilayahnya sebagai wilayah adat atau ulayat, di mana di situ ada kearifan lokal dan praktik budaya. Alam, baik yang ada di darat maupun pesisir, bagi banyak suku adalah tempat untuk mencari penghidupan, sekaligus untuk mengekspresikan budaya. Maka, kerusakan wilayah akan menjadi kehilangan besar bagi satu suku. Bisa jadi budaya dan tradisi mereka juga tercerabut.

Jika alasan mengeruk nikel itu adalah ekonomi, apakah tidak pernah terpikir apa yang terjadi jika tambang itu selesai beroperasi? Siapa yang akan menanggung nasib akibat rusaknya lingkungan, tercerabutnya budaya, dampak kesehatan, dan sebagainya. Pernahkah dihitung berapa nilai kehilangan dan kerugian yang ditanggung dibandingkan keuntungan sesaat yang pasti akan berakhir?

Saya jadi teringat konsep Doughnut Economy atau Ekonomi Donut yang digaungkan oleh ilmuwan Oxford ternama, Kate Raworth. Ekonomi Donut menawarkan satu pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Nah, jika alasannya ekonomi mengapa Indonesia tidak mendorong pengembangan ekonomi yang tidak merusak lingkungan dan aman untuk jangka panjang? Ekowisata, misalnya, yang selama ini menjadi andalan Raja Ampat bisa dibenahi dan dipromosikan lebih jauh. Sebut saja ada program pengembangan ekowisata Raja Ampat berbasis budaya masyarakat dan biodiversitas, maka ini akan menjadi nilai jual, yang melebihi Kepulauan Maladewa atau tempat lain, karena memang potensi wisata di sini memang luar biasa besar dan tak ternilai.

Saya melirik Cina, yang konon banyak menerima nikel Indonesia. Dalam satu YouTube traveler, saya menemukan informasi bahwa ternyata Cina saja sudah makin menyingkirkan tambang untuk mengembangkan ekowisata dan bentuk ekonomi lain yang lebih ramah lingkungan, karena makin menyadari kerugiannya bagi bangsa mereka.

Maka pertanyaannya, kapan Indonesia akan berani kukuh menunjukkan diri mampu melakukan kebijakan ekonomi yang seimbang? Ini memang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan sekarang demi generasi mendatang. Namun, Asta Cita nomor 2 dan 8 menunjukkan bahwa peluang itu selalu ada.

9 Juni 2025

(Agt/PM)