Jejak para taipan dan tokoh elite era pemerintahan Presiden SBY perlahan terkuak di balik aktivitas tambang nikel di surga alam Raja Ampat. Tak hanya PT Gag Nikel, kini sorotan publik tertuju pada PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang diduga kuat memiliki afiliasi dengan konglomerat properti kelas kakap Indonesia.
Hasil penelusuran Bisnis Indonesia melalui Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham menunjukkan bahwa pemilik manfaat (beneficial owner) PT KSM adalah Susanto Kusumo, Richard Halim Kusuma, dan Alexander Halim Kusuma nama-nama besar yang terkait erat dengan Grup Agung Sedayu. Susanto sendiri tercatat sebagai Komisaris Utama PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI), sedangkan Alexander dan Richard adalah putra dari taipan properti Sugianto Kusumo alias Aguan, penguasa megaproyek PIK 2 di utara Jakarta.
Alexander menjabat Wakil Direktur Utama dan Richard sebagai Komisaris PANI, sekaligus pemegang posisi kunci di Erajaya Swasembada dan PT Bangun Kosambi Sukses. Hubungan keluarga mereka dengan Sugianto Kusumo menguatkan dugaan bahwa grup besar ini berada di belakang operasi tambang nikel di Raja Ampat.
Tak berhenti di situ, data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mencatat PT KSM mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2013 saat Presiden SBY masih berkuasa dengan konsesi seluas 5.922 hektare di Kabupaten Raja Ampat. PT KSM dimiliki oleh lima pihak, termasuk PT Dua Delapan Kawei (40%) dan PT Jaya Bangun Makmur (30%).
Mengutip Bisnis.com, konfirmasi dari pihak Agung Sedayu maupun PT PANI belum diperoleh hingga berita ini dimuat. Upaya wartawan untuk meminta tanggapan dari Public Relations Agung Sedayu dan Sekretaris Perusahaan PANI masih belum membuahkan hasil.
Tambang Nikel dan Kerusakan Ekologis
KLHK mengidentifikasi empat perusahaan yang saat ini beroperasi di Raja Ampat: PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Dari empatnya, tiga perusahaan dinilai melakukan pelanggaran serius terhadap prinsip pengelolaan lingkungan hidup.
ASP, misalnya, terbukti menambang tanpa dokumen lingkungan memadai di Pulau Manuran yang kecil dan rapuh secara ekologis. Akibatnya, air laut tercemar, dan pantai mengalami kekeruhan ekstrem. Lokasi ini kini disegel dan berpotensi dikenakan sanksi pidana.
PT KSM diketahui membuka lahan melebihi batas izin pinjam pakai kawasan hutan, sementara PT MRP bahkan belum memiliki dokumen lingkungan apapun. Kedua kegiatan ini telah dihentikan oleh tim pengawas lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol menegaskan bahwa seluruh izin lingkungan di pulau-pulau kecil Raja Ampat akan ditinjau ulang. Hal ini sesuai UU No. 1 Tahun 2014 dan putusan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi yang melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil tanpa syarat ketat.
Gag Nikel: Legal Tapi Merusak
Berbeda dengan yang lain, PT Gag Nikel memiliki perizinan lengkap, termasuk izin kawasan hutan berdasarkan Keppres No. 41 Tahun 2004. Namun, keberadaannya tetap menimbulkan sedimentasi yang berpotensi mengubur koral penghalang utama kerusakan ekosistem laut.
Hanif menyebutkan bahwa meskipun pelanggaran Gag Nikel bersifat ringan, namun tetap perlu kajian teknis lanjutan karena wilayah operasi mereka berada di kawasan lindung dan dikelilingi koral yang menjadi penopang kehidupan laut dan masyarakat pesisir.
Desakan Cabut IUP: Bahlil Diminta Bersikap Tegas
Anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan, mendesak agar seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat dicabut permanen, bukan hanya dibekukan. Ia menilai aktivitas tambang di kawasan geopark kelas dunia ini justru mengancam masa depan ekosistem dan potensi pariwisata yang tak tergantikan.
Menurutnya, ini adalah momentum Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menunjukkan keberpihakan pada rakyat dan alam. Pasalnya, izin-izin tersebut diterbitkan sebelum Bahlil menjabat. Ia bisa memperbaiki warisan yang merusak dengan mencabut IUP secara total.
“Bagaimana bisa tambang nikel dilakukan di pulau kecil yang kaya koral dan sudah ditetapkan sebagai geopark dunia? Ini soal keberanian negara menjaga masa depan lingkungan dan masyarakat adat,” tegas Daniel.
Penutup:
Ketika tambang menyusup ke surga, konflik kepentingan, pembiaran, dan minimnya transparansi menjadi ancaman serius bagi kelestarian Raja Ampat. Di tengah riuhnya investasi dan relasi kuasa, suara alam dan masyarakat lokal terus terpinggirkan. Kini, semua mata menunggu: apakah pemerintah berani menyelamatkan Raja Ampat, atau membiarkannya menjadi sejarah yang dikorbankan demi logam nikel dan kerakusan manusia?
Sumber: Bisnis.com
Penulis: Agusto Sulistio