Misteri Kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana, Jejak Kekuasaan Tambang Nikel Raja Ampat ?

Jun 10, 2025

Nama-nama kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana ramai diperbincangkan publik setelah disebut mengangkut nikel dari Pulau Gag, kawasan indah yang masuk wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kecurigaan mencuat di media sosial X karena nama-nama kapal tersebut dianggap mirip dengan nama Presiden Joko Widodo dan istrinya, Iriana.

Namun isu ini tidak berhenti pada kemiripan nama. Sorotan utama justru tertuju pada aktivitas tambang nikel di Pulau Gag yang dianggap merusak lingkungan dan mengancam sektor pariwisata. Dalam investigasi Bisnis, Senin (9/6/2025), diketahui terdapat delapan kapal bernama JKW Mahakam, antara lain JKW Mahakam 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 11.

Dari delapan kapal tersebut, empat kapal diketahui milik PT Pelita Samudera Sreeya (PSS), anak usaha dari PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI). PSS memiliki kapal JKW Mahakam 1, 3, 6, dan 10. Sementara itu, ada enam kapal bernama Dewi Iriana, yakni 1, 2, 3, 5, 6, dan 8. Empat kapal di antaranya juga dimiliki oleh PSS.

PSSI adalah perusahaan pelayaran publik yang berdiri sejak 2007 dan mengangkut komoditas seperti batu bara, nikel, pasir silika, dan bijih besi. Saham mayoritas PSSI dikendalikan PT Indoprima Marine (43,83%), yang juga memegang 45% saham PSS. Indoprima Marine sendiri dikendalikan oleh PT Himpunan Primajaya, milik dua tokoh penting, Constant Marino Ponggawa dan Al Hakim Hanafiah.

Kedua nama ini tak asing di dunia hukum dan bisnis. Constant adalah pendiri firma hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (sekarang Dentons HPRP), pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR (2004–2009) dan dikenal sebagai pengacara korporat kawakan. Sementara Al Hakim juga merupakan pendiri Dentons HPRP, dengan spesialisasi hukum sumber daya alam, terutama pertambangan, energi, dan properti.

Selain PSSI dan PSS, ada sejumlah perusahaan lain yang juga memiliki kapal dengan nama serupa. Kapal JKW Mahakam 8 dan 5, serta Dewi Iriana 6, dimiliki oleh PT Sinar Pasifik Lestari yang beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Perusahaan ini bergerak sebagai pengelola kepemilikan dan komersial kapal.

PT Permata Lintas Abadi (PLA), perusahaan pelayaran privat untuk industri nikel dan batu bara, memiliki JKW Mahakam 7 dan Dewi Iriana 8. PLA telah beroperasi selama lebih dari dua dekade.

Sementara itu, JKW Mahakam 2 tercatat milik PT Glory Ocean Lines, pelayaran yang beroperasi sejak 2009, fokus di angkutan dry bulk dan bahan kimia lintas Asia Tenggara.

Di balik tumpukan nama, kepemilikan, dan rute pelayaran, yang patut digarisbawahi adalah kehadiran kapal-kapal ini di wilayah rawan konflik lingkungan dan budaya. Papua Barat Daya bukan sekadar wilayah tambang, tetapi juga rumah bagi kekayaan alam dan budaya yang tak ternilai.

Pertanyaan publik sederhana, apakah hanya kebetulan kapal-kapal bernama JKW dan Dewi Iriana berada di tengah pusaran eksploitasi sumber daya alam Papua? Atau ini simbol kekuasaan yang sedang melaut?

Simbol Kekuasaan di Laut?

Publik patut bertanya. Mengapa nama Presiden dan Ibu Negara bisa melekat pada armada kapal tambang yang berlayar membawa nikel dari tanah Papua? Apakah ini sekadar kebetulan nomenklatur, atau justru bagian dari praktik lama oligarki: menjadikan simbol kekuasaan sebagai tameng bisnis sumber daya?

Di tengah sorotan ini, pemerintah justru memilih diam. Tidak ada klarifikasi dari pihak Istana, tidak ada pernyataan resmi dari Kementerian Perhubungan, dan Kementerian ESDM pun belum menanggapi terkait dampak lingkungan akibat tambang nikel di Pulau Gag.

Padahal, laporan sejumlah organisasi lingkungan menyebut bahwa kawasan Pulau Gag merupakan wilayah sensitif dengan keanekaragaman hayati tinggi. Jika dieksploitasi tanpa kontrol ketat, kerusakan ekologisnya akan permanen, dan masyarakat adat kehilangan tanah serta laut yang menjadi sumber kehidupan mereka selama berabad-abad.

Tambang bukan sekadar urusan ekspor dan cuan. Ini soal kedaulatan ekologis, keadilan sosial, dan masa depan bumi Papua. Sayangnya, dalam realitas politik saat ini, tambang kerap menjadi lahan kompromi kekuasaan, di mana elit politik, pengusaha besar, dan jaringan hukum saling berkelindan.

Bukti konkret kepemilikan kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana oleh korporasi besar yang terhubung dengan tokoh-tokoh elite hukum dan mantan anggota parlemen menambah kuat dugaan bahwa eksploitasi sumber daya tidak mungkin terjadi tanpa restu, atau setidaknya pembiaran, dari pusat kekuasaan.

Media mainstream pun tampak enggan menyentuh isu ini lebih jauh. Celakanya, ketika warganet ramai mengaitkan kapal dengan nama Presiden, para buzzer sibuk membelokkan isu dengan menyebut ini hoaks atau teori konspirasi. Padahal, data dan fakta telah tersedia di laman resmi Ditkapel Kemenhub.

Ini bukan hanya soal nama kapal, tapi soal transparansi, akuntabilitas, dan hak publik untuk tahu siapa yang bermain di balik tambang yang menyentuh wilayah konservasi nasional.

Dalam demokrasi sehat, nama presiden yang tercatut di bisnis strategis seharusnya cukup untuk memicu investigasi, bukan justru dimatikan lewat narasi pengalihan isu.

Saat Nama Tak Lagi Netral

Mantan Presiden Jokowi mungkin tak secara langsung terlibat dalam perusahaan kapal itu. Namun, ketika namanya digunakan dalam aktivitas ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan, ia tak bisa bersembunyi di balik diam. Setidaknya, klarifikasi perlu diberikan kepada publik. Diam hanya akan menambah kecurigaan.

Karena dalam sejarah republik ini, terlalu banyak kekuasaan yang dibungkus dalam simbol-simbol nama. Kita telah melihat kapal bernama “rakyat”, program bernama “sejahtera”, namun hasilnya hanya memperkaya segelintir orang.

Jika hari ini kapal bernama “JKW Mahakam” dan “Dewi Iriana” mengangkut nikel dari jantung Papua, kita patut bertanya, siapa yang sesungguhnya sedang “berlayar” rakyat, atau kekuasaan?

Kalibata, Jaksel, Senin, 10 Juni 2025, 12:09 Wib.

Sumber: Bisnis.com
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).