Menelisik Jokowi Ketika “Melindungi” Gibran Dari Ancaman Pemakzulkan?

Jun 8, 2025

Pikiranmerdeka.com | Usulan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak bisa dilepaskan dari dinamika politik pasca-Pilpres 2024 yang penuh kontroversi. Gibran, yang naik mendampingi Prabowo Subianto melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang sarat konflik kepentingan, sejak awal telah menimbulkan polemik soal etik dan moral demokrasi.

Kini, desakan pemakzulan datang dari kalangan yang tak bisa dianggap remeh: Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Empat jenderal purnawirawan yang menandatangani surat tersebut adalah tokoh-tokoh senior militer yang punya rekam jejak panjang dalam pertahanan negara. Tuntutan mereka agar DPR dan MPR memproses pemakzulan Gibran menandakan adanya krisis kepercayaan serius terhadap legitimasi wakil presiden.

Menariknya, mantan Presiden Jokowi dalam kapasitas sebagai apa ia merespons dengan menekankan aspek hukum dan prosedural. Ia menegaskan bahwa pemakzulan tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan harus berdasar pada bukti kuat pelanggaran berat, ujar Jokowi di kediamannya usai salat Iduladha, Jumat (6/6/2025).

Pernyataan Jokowi ini sekaligus menjadi tameng untuk melindungi Gibran dari tekanan politik, namun di sisi lain justru membuka ruang tanya, apakah mantan Presiden ke 7 sedang mempertahankan legalitas posisi anaknya atau sedang menutup ruang kritik terhadap proses politik yang cacat dari awal?

Sikap Jokowi juga mengindikasikan bahwa istana membaca manuver ini sebagai bentuk perlawanan politik, bukan semata-mata persoalan hukum. Apalagi mengingat pemilu 2024 lalu diwarnai dugaan keterlibatan kekuasaan yang berlebihan, termasuk indikasi kuat nepotisme politik melalui Gibran.

Selain itu, respons yang menyebut usulan pemakzulan sebagai “biasa saja” tak bisa dianggap ringan. Dalam sistem demokrasi, pemakzulan adalah instrumen hukum tertinggi untuk menjaga marwah konstitusi, bukan sekadar dinamika politik.

Surat dari Forum Purnawirawan TNI ini sejatinya adalah refleksi kekecewaan mendalam atas memburuknya etika bernegara. Jika suara-suara moral dari kalangan militer saja sudah bersuara keras, maka publik patut bertanya, dimana suara para negarawan sipil dan akademisi yang semestinya menjadi penjaga akal sehat demokrasi?

Demokrasi Tak Boleh Bungkam

Usulan pemakzulan Gibran bukan sekadar soal legalitas atau dinamika politik biasa. Ini tentang integritas kekuasaan dalam bingkai demokrasi. Tentang sejauh mana negara ini masih memiliki ruang untuk koreksi, atau justru telah terjebak dalam jebakan loyalitas buta pada kekuasaan.

Mantan Presiden Joko Widodo menyebut pemakzulan sebagai sesuatu yang biasa dalam demokrasi. Tapi publik tahu, yang sedang dihadapi bukan sekadar prosedur, melainkan ujian, apakah kekuasaan yang ada hari ini masih berpihak pada rakyat atau telah menjauh dari nurani konstitusi?

Dalam sejarah dunia, Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, telah lama mengingatkan umat manusia. “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” “Hampir semua orang bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika kau ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan.”

Lincoln mengucapkannya setelah melalui Perang Saudara yang memecah Amerika dan menyaksikan bagaimana banyak orang yang jatuh bukan karena musuh, tapi karena tak sanggup menahan godaan kekuasaan. Ia tidak hanya berhasil menyatukan bangsanya, tetapi juga menunjukkan bahwa karakter seorang pemimpin diuji bukan saat ia terjepit, melainkan saat ia berkuasa.

Kini, Indonesia sedang menapaki ujian yang sama. Ketika kekuasaan menjadi milik keluarga dan kekritisan publik dicibir sebagai “hal biasa”, maka demokrasi perlahan sedang dilucuti dari dalam.

Dan kita, sebagai rakyat, harus tetap waspada. Karena sejarah bukan sekadar untuk dikenang, tapi untuk dijaga agar tak diulang sebagai tragedi. Seperti kata Bung Karno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

Maka hari ini, menolak pembiaran adalah bagian dari menjaga republik.
Dan mempertanyakan kekuasaan adalah bentuk paling sah dari cinta pada demokrasi.

Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 9 Juni 2025, 02.00 Wib.

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).