Foto: Kapal layar Madleen dan 12 Aktivis Kemanusiaan (AFP)
Pikiranmerdeka.com | Ketika sebagian besar pemimpin dunia memilih menutup mata atas penderitaan jutaan warga Gaza, dua belas orang aktivis dari berbagai negara justru berlayar menembus laut yang dijaga ketat militer Israel dan sekutunya. Kapal mereka bernama Madleen. Misinya satu, mengantarkan bantuan kemanusiaan ke Gaza wilayah yang telah dijadikan penjara terbuka terbesar di dunia oleh Israel sejak lebih dari satu dekade silam.
Di atas kapal itu, aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, bersama Rima Hassan anggota Parlemen Eropa asal Prancis dan sepuluh orang lainnya, tidak membawa senjata, tidak membawa propaganda, hanya membawa persediaan bantuan kemanusiaan. Namun, Israel memperlakukannya seolah ini kapal musuh.
“Kami akan terus bergerak hingga menit terakhir hingga Israel memutus internet dan jaringan kami,” ujar Rima Hassan kepada AFP dari tengah laut, Minggu (8/6/2025). Kalimat itu seperti tamparan bagi dunia internasional yang bungkam.
Israel tak menunggu lama. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, langsung memerintahkan militer untuk memblokir Madleen. “Kembalilah, kalian tidak akan mencapai Gaza,” katanya. Sebuah perintah yang terdengar lebih seperti ancaman daripada instruksi militer biasa.
Koalisi Freedom Flotilla, yang sudah sejak 2010 melawan blokade dengan misi damai, merespons lewat pernyataan di platform X. Mereka menyebut potensi serangan bisa terjadi kapan saja dan meminta negara asal aktivis bertindak. Tapi yang mereka terima justru keheningan yang memekakkan.
Rima Hassan melontarkan kritik keras. “Tidak ada negara yang menanggapi. Pesan yang dikirim adalah bahwa Israel dibiarkan bertindak tanpa hukuman, tanpa perlindungan bagi kami.”
Enam warga Prancis, juga aktivis dari Jerman, Spanyol, Turki, Swedia, Brasil, dan Belanda, berada di kapal. Hanya Menteri Perdagangan Luar Negeri Prancis, Laurent Saint Martin, yang menyatakan akan memberikan perlindungan konsuler. Sisanya? Diam.
Aktivis HAM asal Jerman, Yasemin Acar, justru memberi suara perlawanan paling lantang. “Kami tidak takut. Ancaman itu tidak membuat kami mundur,” ujarnya.
Gaza Kuburan Hidup, Bukti Kegagalan Dunia
Sejak Hamas melancarkan serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.218 orang mayoritas sipil Israel membalas dengan kekuatan penuh. Per 8 Juni 2025, jumlah korban di Gaza mencapai 54.880 orang, sebagian besar juga warga sipil. Dunia menyebut ini “perang”. Tapi data korban menunjukkan, ini adalah pembantaian yang disiarkan langsung, namun tak dihentikan.
Blokade Israel atas Gaza telah berlangsung jauh sebelum perang. Bahkan sebelum peluru ditembakkan, kelaparan dan krisis medis sudah lebih dulu menghantam. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan lebih dari dua juta orang di Gaza kini terancam kelaparan. Namun, suara PBB hanya menjadi gema yang tak didengar oleh kekuatan-kekuatan besar.
Madleen bukan kapal besar. Ia juga bukan kapal perang. Tapi ia membawa keberanian yang tidak dimiliki oleh banyak pemimpin negara. Ia membawa suara kecil yang mencoba melawan kebisuan dunia. Ia mewakili nurani yang selama ini hilang di tengah diplomasi dan perundingan yang tak pernah menghasilkan perdamaian.
Apa yang dilakukan dua belas orang aktivis ini bukanlah aksi nekat tanpa tujuan. Ini adalah bentuk perlawanan paling murni terhadap sistem dunia yang telah membiarkan rakyat Gaza hidup dalam penderitaan tak berujung. Ketika diplomasi gagal, ketika embargo menjadi senjata, dan ketika negara-negara adidaya justru mempersenjatai pelaku kekerasan, Madleen berlayar sebagai simbol bahwa masih ada harapan dari rakyat biasa.
Jika sekelompok warga sipil bisa mengorbankan keselamatan demi menyelamatkan yang tertindas, lalu mengapa para pemimpin dunia memilih diam? Jika sebuah kapal kecil bisa membawa pesan kemanusiaan, lalu mengapa lembaga besar hanya mengeluarkan pernyataan formal tanpa keberanian?
Pertanyaan-pertanyaan itu kini menyelimuti lautan di sekitar Gaza. Jawabannya mungkin tidak akan datang dari gedung-gedung pemerintahan, tapi dari kapal kecil bernama Madleen, yang tetap berlayar hingga dunia benar-benar bangun dari tidur panjangnya.
Agusto Sulistio – Sumber: AFP