Darah di Tengah Demokrasi, Penembakan Calon Presiden Kolombia

Jun 8, 2025

Demokrasi Kolombia kembali tercoreng. Miguel Uribe, salah satu calon presiden yang tengah naik daun, ditembak di tengah acara kampanye yang berlangsung Sabtu (7/6) di distrik Fontibon, Bogota. Insiden ini bukan sekadar kriminalitas biasa. Ini adalah pesan kekerasan yang nyata terhadap iklim demokrasi yang sedang rapuh di negara Amerika Latin tersebut.

Penembakan terjadi cepat dan mengejutkan. Uribe langsung dilarikan ke fasilitas medis terdekat untuk mendapat perawatan darurat, dan jaringan rumah sakit di ibu kota pun disiagakan penuh untuk antisipasi kondisi yang memburuk. Wali Kota Bogota, Carlos Galan, mengonfirmasi bahwa situasi darurat diberlakukan tak lama setelah peristiwa terjadi.

Sementara itu, Kepolisian Nasional Kolombia dengan sigap menangkap tersangka pelaku. Namun hingga kini, motif penyerangan masih belum sepenuhnya terungkap. Dugaan adanya muatan politis pun tak bisa diabaikan, mengingat konteks pemilu dan ketegangan politik yang kian memanas di Kolombia.

Presiden Kolombia, Gustavo Petro, menyampaikan pesan emosional dan penuh empati kepada keluarga Uribe. Dalam pernyataan resminya, Petro berkata, “Saya tidak tahu bagaimana meringankan rasa sakit Anda. Itu adalah rasa sakit dari seorang ibu yang telah tiada, dan dari tanah air yang terluka.” Kalimat itu seakan menegaskan bahwa kekerasan ini bukan hanya melukai satu keluarga, tetapi melukai seluruh bangsa.

Pemerintah Kolombia pun langsung mengutuk keras serangan ini dan menyatakan bahwa upaya membungkam kandidat melalui kekerasan adalah bentuk penghianatan terhadap demokrasi.

Penembakan terhadap tokoh politik bukan hal baru di Kolombia. Negeri ini menyimpan sejarah panjang kelam, mulai dari pembunuhan calon presiden Luis Carlos Galán pada 1989 oleh kartel narkoba, hingga berbagai bentuk intimidasi terhadap aktivis dan jurnalis.

Apa yang menimpa Uribe kini adalah cermin dari ancaman laten demokrasi Kolombia, yang masih disandera oleh kekerasan politik, pengaruh kelompok bersenjata, dan kepentingan oligarki yang merasa terganggu oleh perubahan.

Demokrasi yang Terluka

Miguel Uribe dikenal sebagai figur muda, vokal, dan reformis kriteria yang sering menjadi sasaran dalam politik Kolombia yang keras. Jika kekerasan dibiarkan menjadi alat politik, maka masa depan Kolombia tak hanya suram, tapi bisa masuk jurang otoritarianisme baru yang disamarkan oleh pemilu dan retorika.

Apa yang terjadi di Bogota hari ini adalah peringatan keras bahwa demokrasi bisa runtuh bukan hanya oleh senjata, tapi oleh pembiaran. Dan bagi Indonesia yang kini masih dalam kemelut politik di masa transisi kekuasaan perlu mengambil hikmah dari kejadian ini mengingat keadaan politik negara kita masih belum sepenuhnya baik-baik saja.

Penulis: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).