Oleh: dr. Mahesa Paranadipa M, MH., MARS, FICEP. Di tulis, 13 Februari 2025 untuk Muktamar IDI ke-32
Profesi kedokteran adalah salah satu pilar peradaban manusia yang mengedepankan nilai kemanusiaan, keilmuan, dan etika. Di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menjadi garda terdepan dalam menjaga martabat profesi ini sekaligus berkontribusi nyata bagi pembangunan kesehatan nasional.
Sebagai organisasi profesi terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 200.000 lebih anggota (Data IDI Online, 2024), IDI tidak hanya berperan sebagai wadah advokasi dokter, tetapi juga sebagai mitra strategis pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang berkeadilan.
Konsep medical professionalism oleh Cruess & Cruess (1997) menekankan tiga pilar utama: penguasaan keilmuan, otonomi profesi, dan tanggung jawab sosial. IDI mengaktualisasikan teori ini melalui program pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD) dan penegakan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Di sisi lain, teori social contract (Hafferty & Castellani, 2009) menjelaskan bahwa profesi kedokteran memiliki “kontrak” dengan masyarakat untuk memberikan upaya pelayanan terbaik (bukan hasilnya), yang diwujudkan IDI lewat program kesehatan masyarakat berbasis komunitas, seperti bakti sosial dan edukasi pencegahan stunting.
Sejak berdiri pada 1950, IDI telah membuktikan konsistensinya sebagai organisasi yang solid. Dengan struktur kepengurusan di 31 provinsi dan 450 lebih kabupaten/kota, IDI mampu menjangkau seluruh lapisan dokter di Indonesia.
Data terbaru menunjukkan bahwa 92% dokter umum dan spesialis di Indonesia tercatat sebagai anggota IDI (IDI Online, 2024). Soliditas ini diperkuat melalui sistem komunikasi digital yang terintegrasi, memungkinkan koordinasi cepat dalam merespons isu kesehatan, seperti pandemi COVID-19.
Marwah profesi kedokteran rentan tercoreng oleh adanya professional misconduct atau komersialisasi layanan kesehatan. IDI merespons hal ini dengan membentuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang telah menangani bangan kasus pelanggaran etik.
Contoh konkret adalah pencabutan rekomendasi izin praktik bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran etik (sejak terbit UU No.17/2023 tentang kesehatan kewenangan ini dihapus di undang-undang) menunjukkan komitmen IDI dalam menjaga kepercayaan publik.
IDI tidak hanya fokus pada anggota, tetapi juga pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Program-program di Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) yang diselenggarakan oleh PB IDi, IDI Wilayah, IDI Cabang, Perhimpunan-Perhimpunan telah menjangkau jutaan masyarakat penerima manfaat di daerah tertinggal melalui pemeriksaan kesehatan gratis, operasi mata dan operasi lain secara gratis, bantuan bahan pokok,dan lain-lain.
Kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan dalam beberapa program seperti pengentasan TB, pengentasan penyakit menular, penyakit-penyakit degenaratif, dan lain-lain sedikit banyak memberikan kontribusi positif dalam pembangunan kesehatan.
IDI aktif terlibat dalam penyusunan kebijakan kesehatan berbasis bukti. Misalnya, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law, IDI mengusulkan pasal tentang perlindungan dokter daerah terpencil dan alokasi anggaran untuk pengembangan fasilitas kesehatan tingkat primer.
Rekomendasi IDI juga diakui dalam penyusunan beberapa Standar Pelayanan Medis (SPM) oleh Kemenkes seperti Panduan Praktik Klinik di FKTP, di saat pandemi Covid-19 IDI melalui perhimpunan-perhimpunan merekomendasikan standar-standar pelayanan, yang menjamin profesionalisme dalam kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Kemitraan IDI dengan NGO untuk beberapa program seperti pengurangan konsumsi rokok, penanganan bencana, penyediaan air bersih, penanaman pohon untuk reboisasi, pemberian telur untuk pengentasan gizi buruk bagi anak-anak, dan masih banyak program lain.
Untuk menjawab dinamika ilmu kedokteran, IDI (PB IDI, IDI Wilayah, IDI cabang, Perhimpunan-Perhimpunan) mengadakan ratusan seminar dan pelatihan Program P2KB/CPD secara luring maupun daring dapat menjangkau seluruh anggota IDI hingga ke daerah.
Selama pandemi, IDI membentuk Tim Mitigasi COVID-19 yang berperan sebagai mitra pemerintah dalam perlindungan dokter, pelatihan protokol kesehatan, dan vaksinasi. Ketua PB IDI menjadi orang ke-2 setelah Bapak Presiden Joko Widodo mendapat vaksin Covid-19. IDI juga mengadvokasi kebijakan insentif bagi tenaga kesehatan yang gugur selama pandemi.
Meski dengan banyak peran dan kontribusi, IDI menghadapi tantangan seperti disparitas kualitas dokter di kota dan desa, serta tekanan komersialisasi layanan kesehatan. Solusi konkret yang ditawarkan antara lain:
- Memperkuat peran dokter di layanan primer dengan insentif tambahan dan penjagaan kompetensi.
- Mendorong regulasi yang membatasi praktik corporate medicine yang mengabaikan aspek etik.
- Mengembangkan platform yang dapat terkoneksi dengan berbagai platform telemedicine untuk pemerataan layanan dan memastikan kompetensi serta mutu layanan dokter.
Sebagai organisasi profesi yang solid, IDI telah membuktikan diri sebagai mitra strategis pemerintah dan masyarakat. Melalui penegakan etika, peningkatan kompetensi, dan advokasi kebijakan inklusif, IDI tidak hanya menjaga marwah profesi kedokteran, tetapi juga menjadi motor penggerak kesehatan nasional.
Ke depan, sinergi antara soliditas internal, kolaborasi multisektor, dan inovasi berbasis teknologi akan terus menjadi kunci kontribusi IDI bagi Indonesia yang lebih sehat dan berkeadilan.
Editor : Amhar (081213145810)