Foto: Syahganda Nainggolan (ist).
Pikiranmerdeka.com – Jakarta | Dalam menghadapi eskalasi perang dagang global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump, Indonesia dinilai telah mengambil langkah yang bijak dan tepat. Kenaikan tarif impor secara sepihak oleh Amerika Serikat telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang meluas, tidak hanya bagi negara adidaya tersebut, namun juga bagi negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
Kebijakan Trump yang cenderung menekan mitra dagang agar berpihak dalam konflik perdagangan antara AS dan Tiongkok, telah menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Amerika bahkan mensyaratkan adanya penurunan hubungan dagang Indonesia dengan China sebagai prasyarat untuk perundingan tarif yang lebih lunak. Namun, dalam kondisi geopolitik yang kompleks ini, sikap independen Indonesia dinilai menjadi langkah strategis.
Hal itu ditegaskan oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur GREAT Institute, dalam sebuah diskusi bertajuk “Prabowonomics di Era Tariff War” yang digelar di Jakarta sore tadi. Menurutnya, pendekatan Presiden Prabowo yang bersikeras mempertahankan kedaulatan dalam negosiasi dagang merupakan pilihan cerdas.
“Prabowo sudah tepat, karena ingin membahas hubungan dagang ini secara terpisah dan independen antar negara berdaulat, baik terhadap Amerika maupun China,” ungkap Syahganda. Ia menekankan pentingnya posisi netral dan tidak mudah terombang-ambing oleh tekanan dua kekuatan besar dunia tersebut.
Diskusi yang dihadiri oleh berbagai tokoh ekonomi, pelaku usaha, serta perwakilan pemerintah ini juga menghadirkan sejumlah nama penting, antara lain Dr. Ferry Joko Juliantono, Dr. Tito Sulistio, Prof. Dr. Perdana Wahyu Santosa, Prof. Dian Masyita, PhD, Dr. Poempida Hidayatullah, Dr. Edie Rizliyanto, Dr. Walneg Jas, Dr. Siswanda Sumarto, Dr. Anto Sudarto, Ahmad Noer Hidayat, M.P.P, Anthony Budiawan, Poppy Dharsono, serta I Made Dana Tangkas.
Poppy Dharsono, pengusaha fesyen dan mantan model ternama, menyoroti momen ini sebagai peluang memperkuat industri dalam negeri. “Mumpung terjadi gejala proteksionisme di mana-mana, sebaiknya presiden mempercepat pembangunan industri kita. Batasi impor sebesar-besarnya,” tegas Poppy. Menurutnya, krisis global ini justru menjadi momentum untuk melakukan reindustrialisasi nasional.
Namun demikian, kehati-hatian juga tetap diperlukan. Dr. Tito Sulistio, mantan Direktur Bursa Efek Jakarta, mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah dalam menyikapi hubungan dengan Amerika Serikat. “Kita harus waspada pada hubungan politik ke depan dengan Amerika. Kondisi keuangan kita sangat rentan saat ini. Jika Amerika tersinggung, mereka dapat membuat kondisi perekonomian kita memburuk,” jelas Tito. Ia merujuk pada dominasi pasar keuangan global oleh AS yang bisa berdampak langsung pada stabilitas ekonomi Indonesia jika terjadi gesekan diplomatik.
Diskusi ini ditutup dengan semangat optimisme dari Dr. Ferry Juliantono, Wakil Menteri Koperasi RI sekaligus Ketua Alumni Universitas Padjadjaran. Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk mendukung program-program ekonomi kerakyatan yang menjadi bagian dari visi besar Presiden Prabowo. “Marilah kita tetap semangat membantu Presiden Prabowo mewujudkan berbagai program kerakyatan seperti koperasi desa merah putih, swasembada pangan, swasembada energi, dan makan bergizi gratis,” ajaknya.
Diskusi ini memperlihatkan bahwa meski dunia tengah dilanda ketidakpastian global, ada optimisme bahwa dengan sikap independen dan kebijakan yang berpihak pada rakyat, Indonesia bisa tetap berdiri tegak dan menjaga kedaulatannya dalam percaturan ekonomi internasional.
Editor: Agusto Sulistio