Pada November 2024 mendatang, warga DKI Jakarta yang telah berusia 17 tahun akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Pilkada ini menjadi momen penting bagi masyarakat dalam menentukan masa depan Jakarta, sebuah kota yang tidak hanya menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga cerminan keragaman Indonesia. Tiga pasangan calon, yaitu Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana, akan bersaing memperebutkan posisi terpenting di ibu kota.
Namun, di tengah semarak pesta demokrasi ini, muncul isu yang mengganggu integritas pemilu—ajakan untuk mencoblos semua kandidat sekaligus. Fenomena ini, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi politik, sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang berlaku di seluruh dunia. Setiap suara dalam pemilu harus sah dan sahih, mencerminkan pilihan hati nurani yang jelas dengan memilih satu kandidat. Jika seorang pemilih mencoblos lebih dari satu kandidat, suara tersebut akan dianggap tidak sah dan tidak diperhitungkan dalam hasil akhir.
Dampak dari Mencoblos Semua Kandidat
Mencoblos semua kandidat bukanlah bentuk perlawanan yang efektif, tetapi justru tindakan yang merugikan hak demokrasi pemilih itu sendiri. Contoh serupa dapat ditemukan di berbagai negara besar demokrasi dunia seperti Amerika Serikat, India, dan Jerman, di mana aturan pemilu yang ketat menetapkan bahwa hanya suara yang memilih satu kandidat yang dihitung. Misalnya, di Amerika Serikat pada pemilu tahun 2000 di Florida, banyak suara dinyatakan tidak sah karena pemilih mencoblos lebih dari satu kandidat, menyebabkan perselisihan dan memperlambat proses penghitungan suara. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa penting untuk memahami dan menaati aturan pemilu demi menjaga keabsahan demokrasi.
Jika tren mencoblos semua kandidat diikuti secara luas, Jakarta berpotensi menghadapi masalah yang sama. Suara yang tidak sah akan memperlambat penghitungan, meningkatkan potensi ketidakpuasan, dan bahkan mengurangi legitimasi hasil pemilu. Dalam konteks yang lebih luas, tindakan ini juga dapat merusak fondasi keberagaman sosial yang telah lama dibangun di Jakarta.
Merawat Keberagaman Sosial
Jakarta adalah kota yang kaya dengan keberagaman budaya, agama, dan etnis. Di dalamnya, budaya Betawi telah menjadi ikon yang merepresentasikan bagaimana berbagai budaya seperti Arab, Cina, Eropa, dan Melayu berbaur dengan harmoni. Budaya Betawi, yang kental dengan nilai-nilai Islam, menunjukkan keterbukaan dan toleransi terhadap berbagai kelompok agama dan etnis lain yang hidup di Jakarta. Nilai-nilai inilah yang menjadi pondasi kuat bagi kohesi sosial kota ini.
Salah satu contoh merawat keberagaman sosial di DKI Jakarta dapat dilihat dari sosok pasangan calon Pramono Anung dan Rano Karno. Mereka tidak hanya mewakili simbol budaya Jawa Timur (Pramono) dan Betawi (Rano), tetapi juga mencerminkan keberagaman sosial yang ada di Jakarta. Pramono, yang berasal dari Jawa Timur, membawa pengalaman di tingkat nasional sebagai Sekretaris Kabinet, DPR-RI, pengurus Partai Nasionalis Terbesar Indonesia, sementara Rano Karno, seorang tokoh populer dari budaya Betawi yang dikenal melalui perannya sebagai “Si Doel Anak Betawi”, memiliki pengalaman di level regional dan nasional sebagai mantan Wakil Gubernur Banten dan Anggota DPR-RI. Keduanya mencerminkan perpaduan antara latar belakang budaya dan pengalaman politik, sehingga menjadi simbol keberagaman dan harmoni dalam satu pasangan calon. Keberadaan mereka di kontestasi Pilkada ini mencerminkan pentingnya menjaga keberagaman sosial di Jakarta. Tak kalah menariknya, keragaman sosial juga dimiliki pasangan Ridwan Kamil yang berlatar budaya Sunda dan pasangannya, serta Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Tantangan dan Solusi
Tantangan terbesar dalam merawat keberagaman di Jakarta adalah bagaimana warga bisa terus menjaga sikap toleransi dan saling menghargai di tengah dinamika sosial yang berkembang. Pemilu menjadi salah satu cara warga berpartisipasi aktif dalam menjaga iklim kebersamaan ini. Dengan memilih secara sah dan bertanggung jawab, warga menunjukkan komitmennya untuk terus membangun Jakarta sebagai kota yang inklusif dan harmonis.
Gerakan mencoblos semua kandidat sebagai bentuk “sikap politik” hanya akan merusak sistem yang telah ada, merugikan diri sendiri, dan bahkan memperburuk kualitas demokrasi. Justru, tantangan logis bagi setiap warga Jakarta adalah bagaimana mereka bisa menggunakan hak pilih dengan cerdas dan bijaksana, tanpa terpengaruh oleh gerakan-gerakan yang merugikan.
Penutup
Merawat keberagaman sosial di Jakarta tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam proses politik seperti pemilu. Dengan memilih satu kandidat secara sah, warga Jakarta turut berperan dalam menjaga stabilitas demokrasi dan memastikan bahwa kota ini terus berkembang dalam harmoni. Keberagaman yang telah terbangun selama ratusan tahun di Jakarta harus tetap dijaga, bukan hanya melalui nilai-nilai budaya dan agama, tetapi juga melalui tindakan politik yang bijak dan sesuai aturan.
Pilihan yang tepat bukan hanya hak demokrasi, tetapi juga tanggung jawab sosial yang besar. Dengan cara ini, kita semua dapat melestarikan keberagaman, menjaga nilai-nilai yang inklusif, dan membangun masa depan Jakarta sebagai kota yang harmonis, inklusif, dan maju bagi semua warganya.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosial Media dan Demokratisasi.
Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat 20 September 2024, 16:27 WIB.