Foto: M. Hatta Taliwang (MHT).
Sejumlah tokoh nasional telah membentuk Kelompok Kerja Tetap (Pokjatap) “Kembali ke UUD 1945.” Kelompok ini terdiri dari figur-figur yang menginginkan pemerintah untuk kembali memberlakukan UUD 1945 asli, yang telah diamendemen sebanyak empat kali antara tahun 1999-2002. Amandemen tersebut menghasilkan versi konstitusi baru, yang tetap disebut sebagai UUD NRI 1945 oleh pemerintah.
Tokoh-tokoh dalam Pokjatap di antaranya adalah Muhammad Hatta Taliwang sebagai Ketua dan Astrianti Purwantini sebagai Sekretaris. Anggota lain termasuk MS Kaban, Mayjen (Purn) Prijanto Soemantri, serta belasan figur lainnya. Menurut Hatta dalam pernyataan tertulisnya pada Selasa (12/11/2024), tokoh-tokoh yang belum terakomodasi sebagai pelindung atau penasihat akan segera disurati untuk mengonfirmasi kesediaan mereka bergabung.
Pokjatap “Kembali ke UUD 1945” merencanakan beberapa langkah berikut:
- Menyebarluaskan informasi terkait alasan pentingnya kembali ke UUD 1945 asli, termasuk mengungkap dampak negatif dari amandemen tersebut.
- Mengampanyekan pandangan Prabowo dan Partai Gerindra terkait UUD 1945, serta mengupas buku Paradoks Indonesia karya Prabowo yang relevan dengan konstitusi.
- Mengonsolidasikan dukungan dari tokoh masyarakat, kelompok, ormas, BEM, akademisi, dan partai politik untuk kembali ke UUD 1945 asli.
- Mengkaji masukan dan kontribusi yang sudah disampaikan oleh para pendahulu, seperti dari DPD RI, PPAD, FOKO, GSNKRI, G-45, dan lainnya.
- Mendukung Maklumat Jogjakarta, yang dipelopori oleh Jenderal (Purn) TNI Tyasno Soedarto, sebagai deklarasi untuk kembali ke UUD 1945.
Sebelumnya, amandemen UUD 1945 disebut telah menggeser Indonesia dari akar budaya dan nilai-nilai yang dirumuskan para pendiri bangsa dalam Pancasila dan UUD 1945. Amandemen ini dituduh menggantikan falsafah bangsa dengan ideologi liberal dan kapitalisme Barat. Bahkan, menurut dugaan, konsep amandemen tersebut didorong oleh Amerika Serikat tanpa didahului kajian akademis.
Prof. Dr. Kaelan, M.S., Guru Besar Filsafat UGM, menyatakan bahwa amandemen ini mengubah 974 pasal UUD 1945 dan hanya meninggalkan Pembukaannya. Aktivis kebangsaan, dr. Zulkifli S. Ekomei, menduga UUD 1945 bukan hanya diubah, tetapi benar-benar diganti sesuai kepentingan asing melalui aktor-aktor di Indonesia, termasuk anggota MPR saat amandemen dilakukan.
Dampak perubahan ini dianggap serius, terutama dalam konteks pemilu langsung yang memerlukan biaya kampanye tinggi, sehingga membuka peluang bagi para penyokong dana untuk mengendalikan pejabat terpilih. Hal ini memunculkan kekuatan oligarki yang memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada masa Presiden Jokowi, muncul sejumlah kebijakan yang dianggap lebih mengakomodasi kepentingan oligarki daripada rakyat, seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Omnibus Law Kesehatan, dan UU Minerba, yang menuai banyak protes publik.
Selain itu, UUD 2002 juga dituding telah memindahkan kedaulatan rakyat ke tangan partai politik, di mana hanya ketua umum partai yang menentukan siapa yang berhak maju dalam pemilu, dengan imbalan mahar atau bentuk lainnya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan terbatas yang diputuskan oleh partai politik, meskipun tak merasa cocok dengan calon yang ada.
Fenomena ini mengarah pada sentimen umum menjelang pemilu, yang menyarankan untuk memilih calon “yang mudaratnya lebih sedikit.”
(Agt, Do – PM)