Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.
Pada masa kerajaan, Indonesia sering mengalami perebutan kekuasaan yang melibatkan intrik dan kekerasan. Dalam kerajaan seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, kekuasaan biasanya diwariskan turun-temurun, tetapi sering kali terjadi konflik saat ada sengketa suksesi atau pihak lain merasa lebih berhak atas takhta.
Ken Arok dan Singhasari (Abad ke-13): Ken Arok mengambil alih kekuasaan dari Tunggul Ametung melalui pembunuhan, kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan bisa direbut melalui jalan kekerasan.
Perang Paregreg di Majapahit (1405-1406): Konflik perebutan takhta antara Wirabhumi dan Wikramawardhana melemahkan Majapahit dan berujung pada kemunduran kerajaan.
Perang Bubat (1357): Kesalahpahaman antara Majapahit dan Kerajaan Sunda terkait pernikahan politik berujung pada konflik berdarah yang menyebabkan tragedi dan permusuhan.
Kesultanan Demak dan Pajang (1546-1568): Konflik kekuasaan setelah kematian Sultan Trenggana melibatkan Sunan Prawoto dan Arya Penangsang, berakhir dengan berdirinya Kesultanan Pajang oleh Jaka Tingkir.
Kesamaan Fakta Sejarah dengan Era Modern Indonesia
Sejak kemerdekaan, Indonesia mengalami perebutan kekuasaan serupa, meskipun dalam bentuk yang lebih modern.
G30S/PKI (1965): Kudeta yang gagal ini menyebabkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, diikuti pembantaian terhadap anggota PKI. Kekerasan dan penggunaan militer mencerminkan cara-cara pengambilalihan kekuasaan di era kerajaan.
Reformasi 1998: Kejatuhan Soeharto terjadi di tengah krisis ekonomi dan tekanan rakyat, diwarnai kerusuhan. Meski tidak berdarah seperti konflik kerajaan, transisi ini menunjukkan ketidakpuasan publik yang dapat memicu pergantian kekuasaan.
Politik Dinasti: Praktik politik dinasti di era modern, seperti dalam keluarga Presiden Jokowi, menunjukkan kemiripan dengan upaya menjaga kekuasaan dalam satu keluarga, layaknya di era kerajaan.
Apakah Kekerasan Adalah Warisan Budaya?
Pola perebutan kekuasaan dengan kekerasan tampaknya telah menjadi bagian dari sejarah panjang Indonesia, baik di era kerajaan maupun era modern. Pengaruh struktur sosial feodal yang menekankan pada kekuasaan absolut dan kekayaan cenderung mendorong penggunaan kekerasan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Pandangan Ahli, Perebutan Kekuasaan dan Kekerasan.
Samuel P. Huntington dalam bukunya “Political Order in Changing Societies,” berpendapat bahwa ketidakstabilan politik dan perebutan kekuasaan sering terjadi di negara-negara yang tengah bertransisi dari masyarakat tradisional ke modern. Kekerasan dan konflik menjadi mekanisme bagi kelompok-kelompok tertentu untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan saat struktur politik masih rapuh.
Francis Fukuyama, dalam “The Origins of Political Order,” menyatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan kekerasan merupakan fenomena yang umum dalam sejarah ketika institusi politik yang kuat belum terbentuk. Tanpa institusi yang kuat, masyarakat cenderung kembali ke pola kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik.
Benedict Anderson, seorang ahli tentang politik Asia Tenggara, dalam bukunya “Imagined Communities,” mengamati bahwa sejarah kekerasan dalam perebutan kekuasaan di Indonesia berakar pada konsep-konsep tradisional tentang kehormatan, hierarki, dan loyalitas pribadi. Pandangan ini menunjukkan bahwa warisan budaya masa lalu terus mempengaruhi cara masyarakat modern memahami dan menangani konflik politik.
Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa pola kekerasan dalam perebutan kekuasaan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi fenomena yang terlihat di banyak negara dengan latar belakang sejarah yang mirip. Sejarah dan budaya memainkan peran penting dalam membentuk dinamika politik suatu negara, dan pola-pola ini sering kali diteruskan dari generasi ke generasi.