Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Keterangan Foto: Agusto Sulistio bersama Isti Nugroho (Topi – Aktivis Kebudayaan & Demokrasi) dalam acara kelas Sekolah Kaderisasi Untuk Aktivis Demokrasi (SKUAD) di Jakarta.
Sebagai bangsa yang menganut sistem demokrasi, Indonesia memiliki fondasi yang kuat dalam menjamin keberlangsungan politik yang sehat dan berkeadilan. Namun, Pilkada 2024 memberikan tantangan baru bagi sistem demokrasi kita. Salah satu sorotan utama adalah keterlibatan langsung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta dukungan eksplisit dari mantan Presiden Joko Widodo terhadap kandidat kepala daerah tertentu. Dukungan ini, meskipun dapat dimaklumi dalam konteks politik transisi kekuasaan, patut ditinjau lebih jauh dari perspektif demokrasi dan peraturan perundang-undangan.
Pada Pilkada 2024, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang awalnya terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima, berkembang menjadi KIM Plus setelah bergabungnya PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem. Dukungan KIM Plus tidak hanya datang dari partai-partai tersebut, tetapi juga dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Dengan kekuatan gabungan ini, KIM Plus memainkan peran besar dalam mengusung dan memenangkan kandidat di berbagai daerah. Total ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada serentak, dengan pasangan calon yang didukung KIM Plus mendominasi pencalonan.
Sebaliknya, PDI Perjuangan (PDI-P) dibawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri saat ini masih memilih jalan oposisi di luar KIM Plus. Dengan posisi ini, PDI-P menghadapi tantangan besar bersaing melawan koalisi pemerintah yang terdiri dari 12 partai besar. Pilkada menjadi ajang pertarungan yang tidak hanya tentang kandidat dan kekuasaa , tetapi juga tentang ideologi dan visi demokrasi.
Keterlibatan Kekuasaan dan Tantangan Demokrasi
Beberapa media nasional telah mengabarkan keterlibatan langsung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran dalam memberikan dukungan kepada kandidat tertentu, seperti Ridwan Kamil-Suswono di DKI Jakarta dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen di Jawa Tengah. Meskipun hal ini dianggap sebagai bentuk wajar dari dinamika politik, ada kekhawatiran besar terkait netralitas kekuasaan dalam kontestasi demokrasi. Awal kepemimpinan Prabowo ini akan menentukan reputasi serta cara berdemokrasi pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan, justru langkah awal ini seyogianya memberikan tauladan dalam berdemokrasi seperti yang disampaikan Presiden dalam Pidato kenegaraan tentang pentingnya menegakkan demokrasi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa pejabat negara, termasuk presiden dan wakil presiden, harus menjaga netralitas dalam pemilu dan pilkada. Pasal 283 UU Pemilu secara tegas melarang pejabat negara menggunakan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye, serta mewajibkan mereka untuk bersikap netral. Keterlibatan langsung dalam mendukung calon kepala daerah dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip ini, terutama jika dukungan tersebut memengaruhi independensi penyelenggara pemilu atau menciptakan ketidaksetaraan dalam kontestasi.
Keterlibatan langsung pejabat negara aktif seperti Presiden dan Wakil Presiden dalam mendukung kandidat kepala daerah menciptakan tantangan serius bagi demokrasi yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya potensi ketimpangan kekuasaan. Kandidat yang mendapat dukungan langsung dari Presiden dan Wakil Presiden cenderung memiliki keunggulan politik yang tidak adil. Hal ini dapat mengikis prinsip kesetaraan di antara para calon.
Keterlibatan eksekutif aktif dalam proses pemilihan daerah dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap netralitas pemerintah dan penyelenggara pemilu, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas yang independen.
Dalam demokrasi, oposisi adalah pilar penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Keberadaan PDI-P sebagai oposisi di luar KIM Plus menjadi satu-satunya harapan untuk memastikan adanya kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Ketimpangan dalam kontestasi Pilkada justru dapat memperlemah posisi ini.
Apresiasi terhadap PDI-P sebagai Oposisi
Dalam konteks ini, keputusan PDI-P untuk tetap berada di luar lingkaran kekuasaan patut diapresiasi. Sebagai satu-satunya partai besar yang memilih jalan oposisi, PDI-P mengemban tugas berat untuk mengawal jalannya demokrasi. Mereka menjadi suara yang menyeimbangkan kekuasaan, memastikan pemerintah tetap berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu.
Oposisi bukanlah musuh pemerintah, tetapi mitra kritis yang berfungsi sebagai pengawas jalannya kekuasaan. Dalam Pilkada 2024, dukungan terhadap PDI-P sebagai oposisi bukanlah sekadar pilihan politik, melainkan langkah untuk menjaga demokrasi itu sendiri. Dengan tidak tergabung dalam KIM Plus, PDI-P menunjukkan keberanian untuk melawan arus dominasi politik dan tetap setia pada peran konstitusionalnya sebagai penyeimbang kekuasaan.
Pilkada 2024 menjadi momen penting untuk merefleksikan nilai-nilai demokrasi kita. Pemerintah, oposisi, dan rakyat memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga integritas sistem ini. Netralitas kekuasaan, keadilan dalam kontestasi, dan penghormatan terhadap prinsip demokrasi harus menjadi prioritas utama. Sebab, tanpa oposisi yang kuat dan demokrasi yang sehat, tujuan berbangsa dan bernegara untuk kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud.
Kalibata, Senin 25 November 2024, 02:09 Wib.