https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Prabowo, Demokrasi dan Politik BERJUANG (Beras, Baju, Uang)

Apr 8, 2025 #Agusto Sulistio

Dalam setiap peradaban, tiga hal utama selalu menjadi prioritas dalam doa, cita-cita, dan upaya manusia yaitu Beras, Baju, dan Uang. Beras adalah simbol pangan dan ketahanan hidup. Baju adalah simbol martabat, identitas, dan keamanan. Uang adalah simbol alat tukar, kekuasaan ekonomi, dan alat perjuangan. Ketiganya adalah fondasi bagi rakyat untuk bertahan hidup dan bagi pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan.

Di era pemerintahan baru Prabowo Subianto, konsep “Berjuang” dengan tiga elemen itu tidak lagi menjadi sekadar kebutuhan rakyat, melainkan juga alat konsolidasi kekuasaan. Ketahanan pangan (beras), program bantuan sosial dan subsidi sandang (baju), serta perputaran ekonomi dan insentif fiskal (uang), telah menjadi bagian dari strategi besar membangun legitimasi dan dukungan politik. Namun persoalannya apakah semua ini diarahkan demi memperkuat rakyat atau hanya sekadar mengamankan kursi kekuasaan?

Kita melihat bagaimana dalam masa transisi kekuasaan ini, pemerintahan baru memperkuat narasi populis bantuan langsung tunai, program makan siang gratis, hingga distribusi pupuk murah. Semua mengarah pada janji penyelamatan rakyat kecil. Namun sejarah mengajarkan kita bahwa populisme bisa jadi alat penguasa untuk membungkam kritik sambil memelihara ketergantungan.

Lihatlah Brazil di bawah Jair Bolsonaro, atau India di bawah Narendra Modi. Program-program kesejahteraan mereka berhasil membangun basis dukungan politik yang solid di akar rumput. Namun, di sisi lain, kebebasan sipil, demokrasi deliberatif, dan peran oposisi menjadi semakin terbatas.

Menjaga Demokrasi di Tengah Godaan Kekuasaan

Jika Prabowo ingin menulis sejarah baru sebagai pemimpin rakyat, bukan hanya penguasa, maka filosofi “Beras, Baju, dan Uang” harus ditempatkan dalam kerangka keadilan sosial yang berkelanjutan. Bukan sebagai alat transaksi politik, melainkan sebagai hak rakyat yang dijamin oleh negara.

Amerika Serikat pernah mengalami masa serupa saat Franklin D. Roosevelt meluncurkan “New Deal” pasca Depresi Besar. Program ini fokus pada ketahanan pangan, kerja layak, dan penguatan ekonomi rakyat. Tapi kuncinya bukan hanya distribusi, melainkan penguatan sistem, reformasi pajak, pengawasan perbankan, dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan.

Penutup

“Berjuang” seharusnya dimaknai bukan sekadar mempertahankan hidup secara fisik, tapi juga memperjuangkan kedaulatan rakyat dalam politik dan ekonomi. Jika “Beras, Baju, dan Uang” dikelola hanya untuk memperpanjang umur kekuasaan, maka demokrasi akan kering. Tapi jika dikelola untuk membebaskan rakyat dari ketergantungan dan membangun partisipasi yang setara, maka bangsa ini akan beranjak dari bertahan menjadi berdaulat.

Era Prabowo adalah babak baru. Tapi pertanyaannya, apakah ini akan menjadi era perjuangan rakyat, atau hanya perjuangan mempertahankan kekuasaan?

Namun saya memilih berharap. Bahwa sejarah memberi ruang bagi mereka yang benar-benar ingin mengubah arah, bukan sekadar mengulang pola. Di tengah skeptisisme publik, Prabowo bisa tampil sebagai “The Last Emperor” bukan dalam arti absolut kekuasaan, melainkan sebagai pemimpin terakhir dari generasi pejuang yang mampu memotong lingkaran setan oligarki, nepotisme, dan manipulasi demokrasi.

Jika Prabowo sungguh-sungguh menggunakan kekuasaannya untuk memerdekakan rakyat dari kemiskinan struktural, membangun kedaulatan pangan dan energi, serta menjadikan negara ini berdiri tegak di hadapan dunia, maka ia tidak hanya akan dikenang sebagai presiden, tapi sebagai pemimpin yang menyelamatkan arah republik ini.

Optimisme itu tetap ada. Dan sejarah masih menunggu apakah Prabowo akan menjawabnya dengan kerja nyata atau membiarkan harapan itu menjadi omon-omon belaka.

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025, 21: 36 Wib.