https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Rakyat Berharap Penegakkan Hukum dari Pertemuan Prabowo – Megawati, Bukan Omon-omon

Apr 10, 2025 #Agusto Sulistio

Pertemuan Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus mantan Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, pada Senin malam, 7 April 2025 di Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, bukan sekadar manuver politik. Ini adalah simbol sejarah. Prabowo adalah putra biologis dan ideologis dari Prof. Soemitro Djojohadikusumo, tokoh ekonomi nasionalis pasca-kemerdekaan. Sementara Megawati adalah putri Proklamator dan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, pengusung gagasan ekonomi berdikari dan revolusi rakyat.

Keduanya kini memegang peran penting di tengah transisi kekuasaan dan krisis kepercayaan rakyat pada elite politik. Pertemuan mereka seharusnya tak sekadar simbol dua keluarga besar pendiri republik, melainkan pertemuan dua arus sejarah dan mungkin satu peluang terakhir bagi “Prabowo The Last Emperor” mewujudkan cita-cita orang tua mereka yakni membangun ekonomi kerakyatan yang berdaulat, adil, dan berdikari.

Bung Karno pernah mengingatkan bahwa tanpa hukum, kemerdekaan hanya jadi slogan, dan ekonomi sekadar mimpi (Pidato 17 Agustus 1963). Bung Hatta menegaskan, negara hukum adalah syarat demokrasi ekonomi—tanpa keadilan hukum, rakyat hanya akan ditindas oleh kekuasaan dan modal (Demokrasi Kita, 1960). Prof. Soemitro mengingatkan, tanpa kepastian hukum, bahkan investor dalam negeri akan hengkang (UI, 1967). Sementara Prof. Sarbini Soemawinata menegaskan, Pasal 33 UUD 1945 memerlukan kepastian hukum dan perlindungan bagi rakyat dari predator ekonomi.

Pendiri bangsa sadar, hukum adalah pondasi, maka jika Prabowo dan Megawati ingin mewujudkan cita-cita para pendahulu mereka, langkah awalnya adalah tegakkan hukum, berantas korupsi, dan kembalikan kekayaan negeri ini untuk rakyat.

Prabowo sebagai presiden terpilih dan Megawati sebagai pemimpin partai nasionalis terbesar punya kekuatan moral dan politik untuk memulai langkah tegas membersihkan Indonesia dari praktik oligarki dan mental komprador. Inilah bukti nyata bila mereka benar-benar menjalankan amanah Soemitro dan Soekarno, bukan sekadar menumpang nama besar.

Indonesia tengah berada di ambang krisis utang luar negeri menggunung, kesenjangan sosial melebar, harga kebutuhan pokok melambung, sementara kekayaan alam dikuasai segelintir elite. Di tengah situasi ini, pertemuan Prabowo dan Megawati semestinya menjadi titik balik. Jika ada itikad baik, maka perlu lahir lembaga atau satgas khusus pemberantasan korupsi sumber daya alam, revisi arah pembangunan berlandaskan Pasal 33 UUD 1945, serta program nyata untuk memperkuat koperasi, UMKM, pertanian rakyat, dan industri nasional. Proyek-proyek yang hanya menguntungkan oligarki harus dihentikan.

Jangan Biarkan Sejarah Kembali Dikhianati

Sejak awal kemerdekaan, perdebatan ideologi ekonomi berlangsung sengit, namun semua tokoh sepakat bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan ekonomi. Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Soemitro, Soeharto, dan Sarbini Soemawinata, meski dengan pendekatan berbeda, sepakat bahwa ekonomi Indonesia harus dibangun dari kekuatan rakyat, bukan bergantung pada modal asing atau konglomerat rente.

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang dipimpin dr. Hariman Siregar, menjadi titik balik kesadaran nasional untuk mewujudkan kemandirian ekonomi. Aksi besar mahasiswa dan rakyat ini menolak kebijakan awal Orde Baru yang memberi ruang dominasi modal asing, karena dinilai memperlebar ketimpangan, merugikan rakyat kecil, dan menciptakan ketergantungan. Gerakan ini menggugat kebijakan investasi yang dianggap menyimpang dari konstitusi serta menyerahkan kedaulatan ekonomi kepada kekuatan asing dan elite rente.

Pasal 33 UUD 1945 dirancang untuk menegaskan peran negara dalam mengelola sumber daya penting demi kesejahteraan bersama melalui sistem koperasi dan pemerataan hasil pembangunan. Namun kini, cita-cita itu nyaris sirna. Kekayaan alam dikuasai segelintir korporasi, utang luar negeri membengkak, dan proyek strategis lebih menguntungkan oligarki. Bukan koperasi yang tumbuh, melainkan kartel. Bukan ekonomi rakyat yang subur, tapi ekonomi kapitalis yang minghisap darah rakyat.

Pertemuan Prabowo dan Megawati seharusnya jadi momentum koreksi arah. Akankah mereka kembali ke akar perjuangan rakyat, membela buruh, petani, nelayan, UMKM, dan koperasi desa? Atau hanya sekadar menyatukan elite demi mempertahankan status quo kekuasaan?

Presiden Prabowo berencana mendirikan 80.000 koperasi desa Merah Putih di seluruh Indonesia, sebuah proyek raksasa di tengah tantangan ekonomi nasional dan global. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, koperasi ini bisa menjadi jaring pengaman rakyat dan penggerak ekonomi lokal yang mandiri. Kunci keberhasilannya terletak pada keberpihakan negara, terutama dalam menegakkan hukum secara adil dan tanpa tebang pilih.

Ekonomi kerakyatan tak mungkin terwujud jika kompromi terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terus dibiarkan. Prabowo dan Megawati harus memulai dengan membersihkan sektor strategis dari mafia dan pemburu rente. Tanpa penegakan hukum tegas di sektor SDA, pangan, energi, dan infrastruktur, koperasi hanya akan jadi simbol kosong.

Inilah saat rakyat menanti bukti keseriusan, beranikah mereka menyeret koruptor besar ke pengadilan? Beranikah mereka mengakhiri permainan rente proyek negara? Jika ya, rakyat akan mendukung. Jika tidak, sejarah akan mencatat mereka sebagai generasi gagal yang mengkhianati amanah leluhur dan konstitusi yang lahir dari darah dan air mata perjuangan.

Prabowo dan Megawati memegang peluang langka yang tak dimiliki generasi lain. membuktikan bahwa warisan Soemitro dan Soekarno bukan sekadar nama besar, tapi semangat perjuangan. Kini, perjuangan itu harus diwujudkan lewat ekonomi berdikari yang pro-rakyat dan hukum yang bebas dari kepentingan kekuasaan.

Langkah pertama yang mutlak dilakukan adalah membersihkan sistem dari perusak ekonomi rakyat. Inilah makna sejati dari revolusi, seperti yang pernah digariskan para pendiri bangsa. Kini, tinggal pilih meneruskan amanah sejarah atau mengkhianatinya.

Penulis: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 10 April 2025, 05:18 Wib.