Rekruitmen 24.000 TNI Untuk Urus Sawah dan Sapi, Ancaman Kedaulatan Negara?

Jun 9, 2025

Pikiranmerdeka.com | Pengamat militer dan Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, Al Araf, menyampaikan kekhawatiran serius terkait kebijakan rekrutmen besar-besaran 24.000 calon Tamtama oleh TNI Angkatan Darat (AD) untuk mengisi empat kompi dalam struktur baru Batalyon Teritorial Pembangunan. Kompi-kompi tersebut mencakup pertanian, peternakan, medis, dan zeni.

Menurut Al Araf, langkah ini menyalahi tugas pokok TNI yang secara tegas diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI.

“TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang, bukan untuk mengurusi pertanian atau peternakan,” tegasnya mengutip Kompas.com, Minggu (8/6/2025).

Ia menilai kebijakan ini telah menyimpang jauh dari jati diri militer sebagai alat pertahanan negara dan kekuatan tempur. Bahkan, lanjutnya, alih-alih memperkuat pertahanan, perekrutan ini justru melemahkan profesionalisme TNI dan secara tidak langsung dapat membahayakan kedaulatan negara.

“Ketika tentara terlalu sibuk mengurusi sektor-sektor non-pertahanan, siapa yang siaga ketika ancaman datang? Ini bukan sekadar penugasan sosial, ini penyimpangan arah yang bisa berdampak strategis,” tambahnya.

Al Araf juga menyerukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto dan DPR untuk turun tangan mengevaluasi dan mengawasi kebijakan rekrutmen ini. “Jangan biarkan TNI kehilangan arah dan jati dirinya sebagai kekuatan tempur bangsa.”

Menanggapi kritik tersebut, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana menjelaskan bahwa pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan adalah bagian dari restrukturisasi organisasi TNI AD. Tujuannya, kata dia, untuk mendukung pembangunan dan stabilitas di 514 kabupaten/kota di Indonesia. Setiap batalyon akan berdiri di atas lahan 30 hektar dan dilengkapi dengan kompi-kompi yang diarahkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.

“Prajurit ini tidak disiapkan untuk bertempur, tapi untuk membantu ketahanan pangan dan pelayanan kesehatan masyarakat,” ujar Wahyu, Selasa (3/6/2025).

Namun, kritik terhadap kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Ketika militer lebih banyak mengurusi sawah daripada senjata, muncul pertanyaan mendasar: apakah bangsa ini sedang menukar pertahanan dengan pembangunan sipil yang seharusnya menjadi domain kementerian dan lembaga non-militer?

Editor: Agusto Sulistio