Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era-90an.
Pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 tidak aspiratif mewakili seluruh rakyat, karena kandidat yang dimunculkan tidak mencerminkan keterwakilan rakyat. Semua kandidat memiliki kaitan erat dengan rezim pemerintahan Jokowi.
Sejatinya pemilihan presiden di negara yang menganut sistem demokrasi adalah munculnya kandidat presiden alternatif dan aspiratif yang mencerminkan keterwakilan semua golongan.
Menurut filsuf dunia di abad ke 19, John Stuart Mill, bahwa demokrasi yang baik dan benar harus mencerminkan keragaman pandangan dan aspirasi masyarakat, maka sangat diperlukan pentingnya pluralisme politik, di mana berbagai pandangan dan kepentingan dapat diwakili dalam proses pemilihan presiden yang demokratis.
Hal itu diperlukan agar keberagaman pandangan merupakan modal dasar untuk mencegah tirani mayoritas dan memastikan bahwa kepentingan minoritas diakui dan terakomodir. Dengan adanya kandidat alternatif dan aspiratif, masyarakat dapat memilih pemimpin yang benar-benar mencerminkan variasi pandangan dan memperkaya diskusi politik.
Pandangan tersebut merupakan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi seluruh masyarakat, dan bukan hanya sebagian kecil dari populasi. Dengan demikian, pemilihan presiden yang
melibatkan kandidat alternatif dapat dianggap sebagai pertanda tumbuh sehatnya demokrasi, di mana masyarakat memiliki opsi yang lebih luas dan mencerminkan spektrum pandangan yang lebih besar.
Bahwa kenyataannya pilpres 2024 menghasilkan kandidat yang terkait erat dengan rezim penguasa Jokowi. Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, merupakan bagian dari rezim pemerintah Jokowi. Penulis mengartikan hal ini sebagai kurangnya variasi dan representasi dalam proses elektoral yang demokratis, sebab tak ada satupun kandidat yang berasal dari luar kekuasaan rezim pemerintahan Jokowi
Tentu hal ini bukan kesalahan dari Anies, Prabowo dan Ganjar, melainkan sistem penyelenggara negara yang tidak memilih sistem elektoral yang demokratis, dan diduga untuk mempertahankan kekuasaan yang berkelanjutan.
Yaitu tetap membiarkan penerapan presidential threshold yang cukup tinggi yakni 20% berlangsung. Sehingga parpol yang tidak memenuhi syarat PT berkoalisi dan berkompromi untuk mencari kandidat yang akan diusung.
Pertanyaan mendasarnya, apakah keterkaitan kandidat dengan rezim penguasa dan penerapan presidential threshold 20% merusak demokrasi dan menciptakan pemilihan presiden yang tidak representatif? Jawabannya ya.
Presidential threshold yang tinggi hambatan demokrasi.
Penerapan presidential threshold setinggi 20% dalam sarana politik dapat serius menghambat representasi aspirasi rakyat yang signifikan. Syarat PT yang tinggi menghambat partai kecil mencapai perolehan suara yang dapat memenuhi ambang batas, sehingga ini menghalangi munculnya kandidat alternatif dan aspiratif. Karena itu negara demokrasi seperti Amerika tidak menerapkan presidential threshold dalam proses electoral di negaranya.
Presidential threshold yang tinggi menghambat demokrasi serta akan mengurangi keberagaman opini dan menghalangi partai kecil sehingga berpotensi merugikan esensi demokrasi representatif dan cenderung akan memperkuat dominasi oleh kelompok besar yang tidak selalu mencerminkan kepentingan rakyat.
Resiko keterkaitan Kandidat dengan kekuasaan.
Kandidat capres cawapres dalam pilpres 2024 yang merupakan bagian dari rezim kekuasaan Jokowi jika kelak terpilih menjadi presiden akan cenderung melanjutkan kebijakan (kontinuitas kebijakan) dan program kerja Jokowi.
Namun pemerintahan selanjutnya nantinya akan tetap didominasi oleh partai atau kelompok politik yang sebelumnya sebagai pendukung pemerintahan Jokowi Periode 1 dan 2, sehingga akan mengakibatkan keberlanjutan struktur kekuasaan yang sudah ada.
Rusia dan dampak sistem elektoral non aspiratif
Salah satu contoh negara yang memunculkan kandidat pemimpin yang memiliki kaitan erat dengan rezim kekuasaan, adalah Rusia.
Vladimir Putin telah menjadi figur dominan dalam politik Rusia sejak awal tahun 2000-an, baik sebagai Presiden maupun Perdana Menteri. Pemilihan-presiden yang dikelola dengan ketat dan pengaruhnya yang kuat dalam membangun koalisi politik telah mengamankan posisinya.
Pemerintahan Putin telah dikritik karena mengendalikan media dan membatasi kebebasan berbicara. Ini telah berdampak pada keragaman opini dan pengawasan terhadap berita independen.
Oposisi politik di Rusia sering menghadapi tantangan, baik dari hukum yang membatasi aktivitas politik maupun dalam hal pemantauan yang ketat. Beberapa tokoh oposisi atau aktivis telah mengalami penangkapan atau pengusiran.
Putin memimpin upaya untuk mengubah konstitusi Rusia pada 2020, yang memungkinkan dia tetap berkuasa lebih lama. Hal ini memicu kontroversi dan menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan demokrasi.
Meskipun Putin tetap populer dalam sebagian besar pemilihan, terdapat juga tingkat ketidakpuasan publik terkait dengan masalah seperti korupsi, ketidaksetaraan, dan kurangnya kebebasan politik.
Rusia di bawah kepemimpinan Putin terlibat dalam sejumlah konflik internasional, termasuk intervensi di Ukraina, dukungan terhadap rezim Suriah, dan ketegangan dengan Barat. Ini mempengaruhi hubungan internasional Rusia dan posisinya dalam komunitas global.
Kalibata, Jakarta Selatan, 12 Desember 2023, 07:27 Wib.