Foto: Jend.Pol (Purn), Prof. Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri RI.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memindahkan secara administratif empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara menuai reaksi keras dari berbagai kalangan di Tanah Rencong.
Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek yang selama ini dianggap bagian dari Aceh, kini resmi masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sesuai Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, mengingatkan pemerintah pusat agar belajar dari pengalaman Catalonia di Spanyol dan Mindanao di Filipina. Menurutnya, kebijakan yang mengabaikan aspirasi lokal dan memaksakan pendekatan legalistik justru berpotensi memicu konflik baru.
“Di Catalonia, resistensi lahir bukan hanya karena ekonomi, tapi karena perasaan diabaikan, dimarjinalkan, dan kehilangan kontrol atas identitas sendiri,” kata Humam, Rabu (11/6).
Aceh, tambahnya, punya kesamaan: sejarah panjang relasi timpang dengan pusat, kesadaran kolektif yang kuat, dan sensitivitas tinggi terhadap isu harga diri dan wilayah.
“Kalau tidak ditangani hati-hati, keputusan administratif ini bisa memercikkan kembali api resistensi yang selama ini mereda,” ujarnya.
Kritik terutama tertuju pada cara pengambilan keputusan yang dinilai sepihak dan tanpa dialog terbuka dengan masyarakat Aceh. “Bagi warga Aceh, ini bukan sekadar perubahan peta. Ini pengabaian terhadap martabat dan semangat damai yang selama ini dijaga,” kata Humam, yang juga seorang sosiolog.
Empat pulau itu memiliki bukti sejarah dan administratif kuat sebagai bagian dari Aceh. Ada prasasti dan tugu bertuliskan “Kabupaten Aceh Singkil” yang dibangun sejak 2008, surat kepemilikan tanah dari tahun 1965, dan dokumen resmi lainnya.
Langkah Kemendagri ini pun dikhawatirkan membuka kembali luka lama soal perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat terhadap Aceh.
(Agt/PM)