Keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan bukanlah bentuk militerisasi penegakan hukum.
Pikiranmerdeka.com | Kerja sama antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini menjadi sorotan. Kesepakatan terbatas antara kedua institusi itu memungkinkan personel TNI dikerahkan untuk membantu pengamanan di lingkungan kejaksaan.
Sebagai tindak lanjut, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menerbitkan Surat Telegram No. TR/422/2025 pada 5 Mei 2025, yang menginstruksikan pengiriman personel militer ke seluruh kantor kejaksaan di Indonesia. Arahan ini diperkuat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) lewat Surat Telegram No. ST/1192/2025 tanggal 6 Mei 2025. Berdasarkan ketentuan tersebut, tiap Kejaksaan Tinggi akan diperkuat 30 personel TNI, sementara Kejaksaan Negeri mendapat 10 personel.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, menjelaskan bahwa pelibatan militer bersifat preventif, dilakukan atas permintaan resmi, dan mengacu pada kebutuhan situasional yang tetap berada dalam koridor hukum.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa kolaborasi ini dijalankan secara profesional dan terukur. Menurutnya, keberadaan TNI tidak akan mengganggu fungsi utama kejaksaan. Ia juga menyebut kerja sama ini sudah berlangsung lama berdasarkan kesepakatan yang sah.
Namun demikian, langkah ini menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah menilai kerja sama tersebut sebagai langkah penting untuk menjaga ketertiban dan memperkuat integritas institusi hukum, terutama karena Kejagung tengah menangani kasus-kasus besar yang rawan tekanan dan intimidasi.
Peneliti politik dari GREAT Institute, Omar Thalib, menilai bahwa kolaborasi ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk melindungi institusi penegak hukum dari ancaman yang meningkat. “Dalam beberapa tahun terakhir, Kejagung menangani berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan aktor-aktor kuat. Kehadiran TNI diperlukan agar kejaksaan dapat terus bekerja tanpa gangguan,” ujar Omar.
Meski demikian, kekhawatiran publik tetap muncul. Banyak yang mempertanyakan apakah keterlibatan TNI ini membuka kembali ruang bagi dwifungsi militer seperti di masa Orde Baru yakni ketika militer menjalankan fungsi pertahanan sekaligus peran sipil.
Omar menjawab, “Pelibatan TNI perlu dibatasi secara jelas dalam hal jangka waktu. Ini penting untuk menjaga independensi Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum yang mandiri. Jika tidak diatur, bisa muncul persepsi bahwa militer turut campur dalam proses hukum, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik.”
Dalam pandangan GREAT Institute, keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan bukanlah bentuk militerisasi penegakan hukum, tetapi harus tetap berada dalam kerangka sipil yang demokratis dan diawasi secara ketat.
Editor: Agusto Sulistio