Serangan udara Amerika Serikat ke tiga pusat nuklir Iran pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat diperkirakan akan memicu gejolak besar di pasar global saat perdagangan dibuka kembali pada Senin (23/6). Serangan ini diumumkan langsung oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, melalui platform Truth Social, yang menandai keterlibatan lebih dalam AS dalam konflik Timur Tengah.
Langkah militer ini dikhawatirkan memicu aksi jual di pasar saham, lonjakan permintaan terhadap dolar AS, dan pelarian ke aset-aset safe haven lainnya seperti emas dan obligasi, sebagaimana disampaikan oleh sejumlah analis kepada Reuters, Minggu (22/6/2025).
Meski Trump menyatakan serangan itu sukses, informasi yang tersedia masih terbatas. Trump dijadwalkan menyampaikan pidato publik pada Sabtu malam waktu AS atau Minggu siang waktu Indonesia.
Menavigasi Lautan Konflik Iran–Israel dan Jalur Pelayaran Barang Kebutuhan
Pria di Sumbar Bunuh 3 Mahasiswi, 1 Dimutilasi, Lainnya Dibuang ke Sumur
“Pasar akan sangat berhati-hati di awal. Harga minyak kemungkinan dibuka lebih tinggi,” kata Mark Spindel, Kepala Investasi Potomac River Capital. “Belum ada penilaian kerusakan yang jelas. Meski Trump menyebut ini sudah ‘beres’, kenyataannya AS kini kian terlibat.”
Menurut Spindel, keterlibatan militer ini membuat warga AS di berbagai negara berisiko terpapar dampaknya, yang pada akhirnya meningkatkan ketidakpastian dan volatilitas, terutama di pasar minyak global.
Ancaman Inflasi dari Lonjakan Harga Minyak
Ketegangan geopolitik ini berpotensi mendorong harga minyak naik tajam dan memicu inflasi. Inflasi yang melonjak bisa melemahkan daya beli konsumen dan memperkecil kemungkinan bank sentral AS menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
“Ini menjadi lapisan risiko baru yang harus kami pertimbangkan,” ujar Jack Ablin, Kepala Investasi di Cresset Capital.
Sejak 10 Juni, harga minyak Brent telah melonjak 18%, menyentuh US\$79,04 per barel — level tertinggi dalam lima bulan terakhir. Oxford Economics sebelumnya telah mensimulasikan dampak dari tiga skenario: deeskalasi konflik, penghentian penuh produksi minyak Iran, hingga penutupan Selat Hormuz. Dalam skenario terburuk, harga minyak dunia bisa menyentuh US\$130 per barel, mendorong inflasi AS mendekati 6% di akhir 2025.
Lonjakan harga energi bisa langsung memukul konsumsi rumah tangga dan mempersulit langkah pelonggaran moneter oleh The Fed. “Risiko inflasi semacam ini dapat menggagalkan rencana penurunan suku bunga,” tulis Oxford dalam laporan yang dirilis sebelum serangan AS.
Potensi Damai dan Prediksi Pasar
Meski pasar kemungkinan bereaksi negatif, sebagian analis masih melihat potensi stabilisasi. Jamie Cox, mitra di Harris Financial Group, menilai serangan ini mungkin justru membuka jalan diplomasi. “Iran kini kehilangan pengaruh nuklirnya dan bisa jadi mulai mencari kesepakatan damai dengan AS dan Israel,” ujarnya.
Namun, dampak jangka pendek tetap perlu diwaspadai. Lonjakan harga minyak akan menambah tekanan bagi perekonomian global yang masih tertekan akibat tarif tinggi dari kebijakan proteksionis AS.
Sejarah Membuktikan: Pasar Cepat Pulih
Data historis menunjukkan bahwa pasar saham global biasanya hanya terpukul sesaat saat terjadi konflik besar. Contohnya, saat invasi AS ke Irak pada 2003 atau serangan ke fasilitas minyak Arab Saudi pada 2019, indeks saham memang sempat melemah, tapi kemudian pulih dalam waktu relatif singkat.
Menurut data Wedbush Securities dan CapIQ Pro, rata-rata indeks S\&P 500 hanya turun 0,3% dalam tiga minggu pertama konflik, tetapi naik 2,3% dalam dua bulan berikutnya.
Nasib Dolar di Tengah Konflik
Peningkatan konflik diperkirakan berdampak ganda bagi dolar AS. Meski sepanjang tahun ini dolar cenderung melemah karena kekhawatiran atas status keistimewaannya, keterlibatan militer AS bisa memicu pelarian ke aset aman yang memperkuat nilai tukar dolar.
“Jika pasar global panik, investor akan memburu aset safe haven. Itu akan menekan imbal hasil obligasi dan mengangkat nilai dolar,” ujar Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar di IBKR, Connecticut.
Namun, semua masih bergantung pada respons Iran dan seberapa besar efek domino dari serangan ini. “Sulit membayangkan saham tidak jatuh. Pertanyaannya hanya, seberapa dalam?” kata Sosnick.
Sumber: Reuters
Editor: Agusto Sulistio