https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Kondisi Objektif Indonesia

Agu 20, 2024 #AstabratA Institute

Oleh: Indro Tjahjono (AstabratA Institute)

Problematika Bangsa dan Negara Saat Ini

Masyarakat atau civil society adalah warganegara yang menjadi subyek demokrasi atas berlangsungnya sebuah negara. Berdasarkan konstitusi, apa yang menjadi aspirasinya bersifat absah (otentik) secara politik dan wajib diperhatikan oleh pemerintah selaku lembaga eksekutif dari negara. Jaringan Aktivis Lintas Generasi sebagai salah satu organisasi civil society (CSO/Civil Society Organization) telah merumuskan beberapa problematika bangsa dan negara saat ini yang meliputi masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya seperti diuraikan berikut ini.

Masalah Politik

1. Semua warganegara kini tidak lagi memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan seperti layaknya dalam negara demokrasi. Tetapi negara diatur dan dijalankan oleh segelintir orang atau berarti menganut bentuk pemerintahan oligarki (negara oligarki). Untuk mempertahankan eksistensinya, telah diberlakukan sistem presidential threshold, sehingga tidak mungkin muncul tokoh-tokoh alternatif.

2. Dalam perkembangannya, oligarki yang dimaksud didominasi atau dikendalikan oleh kaum bermodal atau orang kaya. Sehingga dalam praktek pemerintahannya diberlakukan plutokrasi, artinya duit dan orang berduitlah yang mengendalikan pemerintahan dalam negara.

3. Lahirnya negara oligarkis ini didahului oleh runtuhnya prinsip checks and balances yang berdasarkan konstitusi dan etika demokrasi. Padahal, Negara Indonesia telah memisahkan kekuasaan negara menjadi cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tidak ada cabang kekuasaan negara yang dimonopoli di satu tangan.

4. Saat ini secara drastis oligarki tersebut telah menjelma menjadi bentuk pemerintahan despotisme, yakni penguasa (presiden) atau Tiran memerintah berdasarkan keinginannya sendiri secara absolut dan diktator. Tiran adalah penguasa tunggal yang memerintah secara brutal dan menempatkan dirinya dan kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak dalam sistem pemerintahan yang bersifat Tirani.

5. Akibatnya, ruang partisipasi politik publik dipersempit sedemikian rupa sehingga pilihan-pilihan masyarakat dibatasi dalam kerangka permainan dan aktor politik yang sudah ditentukan sebelumnya. Fenomena Kotak Kosong menjelang pemilihan kepala daerah saat ini merupakan bukti bahwa penyempitan ruang pilihan politik rakyat memang dimaksudkan untuk hanya memilih kepala daerah yang disetujui oleh elit politik pemegang kekuasaan.

Masalah Ekonomi

1. Adanya kecenderungan memusatnya akses dan aset ekonomi di tangan segelintir orang. Akibatnya, akses dan aset sumber daya ekonomi tidak dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Indonesia mengalami ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat tajam. Segelintir orang hidup dalam kelimpahan, sementara sebagian besar sisanya hidup dalam kondisi sebaliknya.

2. Adanya permasalahan mendasar dalam pengelolaan sistem keuangan yang menyebabkan mega skandal terjadi pada setiap rezim pemerintahan. Skandal keuangan yang sangat fantastis bernilai triliunan rupiah terus terjadi, dan tidak pernah diusut tuntas.

3. Merebaknya korupsi dan manipulasi dalam kekayaan dan penerimaan negara, baik dari pajak dan bukan pajak. Adanya fenomena tentang pegawai pajak yang beralih menjadi Konsultan Pajak, yang merugikan pemasukan pajak. Terjadi banyak korupsi terhadap penerimaan negara dari sektor sumber daya alam atau pertambangan.

4. Kebocoran dalam penggunaan keuangan negara atau APBN sudah mencapai 30-40%. Khususnya untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah, korupsi telah mencapai 70%. Bahkan korupsi sudah direncanakan sebelum anggaran disusun atau korupsi melalui kebijakan yang umumnya disebabkan adanya fenomena Peng-Peng (penguasa merangkap pengusaha).

5. Rasio pembayaran utang (debt-to-service ratio) sudah mencapai 39 persen (lampu merah menurut Debt Service Watch) yang menandakan bahwa pemerintah berada dalam mode gali lubang tutup lubang. Namun perhitungan utang terhadap PDB ini sudah melampaui batas ambang IMF jika didasarkan pada rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara (debt service to revenue), rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara (interest to revenue), dan rasio utang terhadap penerimaan negara (debt to revenue).

6. Minat investasi ke Indonesia, baik di sektor permodalan maupun sektor riil, menurun karena merosotnya kepercayaan, kepastian hukum, ketidakstabilan politik, ketidakjelasan status tanah, dan tingginya angka korupsi.

Masalah Sosial

1. Praktek politik uang di tingkat nasional dengan masyarakat yang kesadaran politiknya rendah telah melahirkan replikasi model demokrasi (Pemilihan Kepala Daerah) yang juga berbasis uang di daerah. Hal ini melahirkan elit sosial di daerah yang berkualitas rendah karena mereka merupakan produk sistem rekruitmen daerah yang berbayar. Dengan demikian lembaga dan kehidupan sosial di daerah di segala bidang mengalami kemunduran dan pembusukan.

2. Keadilan sosial tidak mungkin terwujud secara hakiki akibat sistem dan bentuk pemerintahan oligarki. Masyarakat hanya dijadikan unit suara dalam Pemilu sebagai sumber legitimasi kekuasaan, dan dibeli putus melalui pemberian Bansos. Di lain pihak partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak diberikan.

3. Suara rakyat tidak diperhatikan karena partai politik tidak lagi menjadi wakil rakyat yang efektif karena tidak lagi bersumber pada kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan Ketua Partai. Hak recall tidak ada lagi, apalagi warga negara juga tidak memiliki hak melakukan referendum.

4. Lemahnya lembaga independen yang berfungsi sebagai penyeimbang dan pengawas, karena kooptasi oleh penguasa melalui politik uang telah membuat korupsi, kolusi, dan nepotisme merebak dan merajalela. Praktek kecurangan dan kongkalikong berlangsung di depan mata dan tidak bisa dicegah, akibat pemerintahan yang despotik.

Masalah Budaya

1. Ketergantungan ekonomi dengan pihak asing, dan besarnya impor produk barang dan jasa yang sebenarnya bisa diselenggarakan sendiri, membuktikan Indonesia tidak mampu menjalankan Trisakti (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan). Impor alat transportasi, pangan, serta rencana mendatangkan tenaga medis dan hukum merupakan kebijakan yang sangat mengkhawatirkan.

2. Pemerintah tidak lagi menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih (good governance), merupakan awal kemunduran yang terjadi di segala bidang. Sikap berbohong yang dilakukan aparatur negara dan subkultur manipulatif yang terjadi di jajaran pemerintah telah menurunkan kepercayaan publik yang genuine.

3. Kasus hukum yang terjadi di kalangan penegak hukum (Polri), misalnya Kasus Ferdy Sambo dan Kasus Vina, membuktikan bobroknya lembaga kepolisian, serta krisis hukum dan hak asasi manusia. Selain itu diduga banyak pimpinan kepolisian yang terlibat dalam narkoba, perjudian, dan perdagangan orang. Berbagai perilaku curang dan pelanggaran di bidang hukum dan konstitusi tidak mampu ditindak dan diadili.

4. Pimpinan lembaga negara sendiri melakukan penyelewengan moral dan etika, serta tata krama politik sebagai konsekuensi bentuk pemerintahan yang despotik. Konstitusi serta ketentuan peraturan perundang-undangan dijungkir-balikkan demi memuluskan keinginan penguasa untuk terus menerus memegang pengaruh dan kendali kekuasaan dengan membangun dinasti politik.

Kekuatan Joko Widodo adalah karena dikuasai oleh oligarki yang menguasai sistem politik, hukum, dan ekonomi, serta didukung oleh RRT (Xi Jinping). Secara geo-strategic Xi Jinping butuh Indonesia untuk pengamanan kawasan Laut Cina Selatan.

Kini, di bawah diksi politik “keberlanjutan”, Prabowo Subianto akan menjalankan roda kekuasaannya, dimulai saat pelantikannya secara resmi pada 20 Oktober 2024 ini. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi pemerintah ke depan tidak 5

bisa dianggap enteng. Jika pemerintah ke depan tidak memiliki kapasitas untuk menuntaskan berbagai persoalan berat tersebut, pemerintah akan menanggung risiko berhadapan dengan rakyatnya sendiri.

Soalnya adalah kembali pada Prabowo Subianto sendiri. Prabowo Subianto jika ingin melepas pengaruh oligarki, terlebih dahulu melepas jerat Joko Widodo (jembatan oligarki). Harus diakui secara objektif bahwa tantangan dan problematik yang dihadapi Prabowo Subianto–terkait dengan berbagai persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum–tidak bisa disebut ringan.

Prabowo Subianto harus bisa memainkan peran geo-politik keseimbangan dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia agar Tiongkok tidak dominan. Hubungan Tiongkok dengan para taipan yang menjadi oligarki adalah langkah strategis awal keberlanjutan dan keberhasilan Prabowo Subianto untuk mengatasi problem ancaman Indonesia.

Oligarki Indonesia yang dikenal dengan Sembilan Naga merupakan proxy Tiongkok (Xi Jinping). Keseriusan Prabowo Subianto untuk merdeka dari oligarki terlihat dari ketegasan awal dalam renegosiasi masalah fiskal melalui Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk menentukan penghasilan pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Tekad Prabowo Subianto dalam target rasio pajak sejajar Vietnam (23%) dalam waktu tertentu, dimungkinkan jika self assessment jujur dari 30 pembayar pajak terbesar, dan renegosiasi untuk merevisi profit sharing pemerintah dan perusahaan tambang.

Target Prabowo Subianto perihal pertumbuhan ekonomi sebesar 8-9%, akan tercapai jika rasio pajak bisa ditingkatkan secara gradual.