https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Seri Kajian AstabratA Institute – “Memerdekakan Pemerintahan Prabowo Subianto dari Cengkraman Oligarki”

Agu 20, 2024 #AstabratA Institute

Press Release – Astabrata Institute

Astabrata Institute merilis kajian seri kedua berjudul “Memerdekakan Pemerintahan Prabowo Subianto dari Cengkeraman Oligarki”.

Astabrata Institute yang terdiri dari aktivis-aktivis Indonesia, seperti: Sukmaji Indro Tjahjono, Ariyadi Achmad, Eddy Junaidi, Bob Randilawe, Lukas Luwarso, Ubaidillah Badrun, Agusto Sulistio, Rahadi Teguh Wiratama, Asrianty Purwantini dan In’Am El Mustofa mengkaji isu-isu strategis yang menjadi problem berbangsa dan bernegara, serta mengusulkan solusinya.

Kajian tersebut berdasarkan FGD (Focus Group Discussion) dan Desk Research yang dilaksanakan sejak awal Agustus 2024.

“Memerdekakan Pemerintahan Prabowo Subianto dari Cengkeraman Oligarki”

Pengaruh rezim oligarki dimanfaatkan Joko Widodo untuk pribadi menjadi politik dinasti. Setelah gagal secara konstitusi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia selama tiga periode, Joko Widodo ingin melanjutkan dengan cara dinasti, yakni memasukkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke lingkaran elit kekuasaan.

Semua bercampur karena megalomania Joko Widodo yang despotik (semau gue). Kelemahan ekses dari politik transaksional (Kapitalisme Liberal). Liberal dalam demokrasi, melahirkan semangat despotisme yang totaliter menjurus kepada politik dinasti.

Proses “take over” Golkar, adalah bentuk hasrat politik Joko Widodo yang despotik. Hal ini juga tidak disenangi para taipan, karena ekses oligarki akan membuat rasa “benci” pada etnis Tionghoa meningkat seperti yang terjadi juga di Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan Thailand.

Keadaan ini menjadi ancaman bagi etnis Tionghoa, karena Joko Widodo adalah keturunan Tionghoa dengan identitas palsu. Semua ini bisa terjadi, maka Joko Widodo ingin mengamankan diri dan keluarganya dari ancaman tuntutan pidana pasca lengser.

Prabowo Subianto adalah satu-satunya harapan terakhir, namun akhir-akhir ini Joko Widodo merasa kurang aman dan nyaman dengan sikap Prabowo Subianto yang tidak menggubris Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden (periode 2024-2029).

Bentuk hostile takeover Partai Golkar adalah ekses pengaruh oligarki di bidang politik. Demokrasi Transaksional produk Amandemen UUD 1945 (di tahun 2002) sudah mencapai titik nadir. Liberalisme yang dihadirkan menghasilkan politik transaksional dan politik dinasti.

Liberalisme dalam ekonomi melahirkan kartel setiap sektor utama ekonomi, sehingga terjadi proses pemiskinan masyarakat. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

Dalam politik, ekses paling parah adalah tercerabutnya kedaulatan rakyat, ekses hegemoni parpol. Presidential Threshold adalah tameng bagi calon murni dari rakyat karena dipersulitnya persyaratan calon perseorangan. Parpol telah jadi kartel politik di bawah cengkeraman oligarki.

Sementara di bidang ekonomi, ekses oligarki melahirkan kartel di beberapa sektor utama (vital), seperti: pangan (sembako), kelapa sawit, batubara, Telkom, bisnis hitam (narkoba, judi, serta pinjaman online), yang menyengsarakan rakyat Indonesia, serta mengancam masa depan pemuda Indonesia.

Sistem ekonomi pasar bebas sangat eksesif dengan kebijakan ekonomi liberal, dengan rezim impor yang menjadi ladang cuan industri korupsi.

Di bidang hokum, menimbulkan ekses ketidak-adilan hukum dalam penegakkan hukum. Ekses munculnya mafia peradilan yang merusak moral Polri (ekses Satgasus Ferdy Sambo) yang terlibat dunia hitam, Kejagung, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang tebang pilih.

Prabowo Subianto harus merevitalisasi aparat penegak hokum, agar kembali tegaknya hukum yang berkeadilan sosial. Hukum yang menjadi panglima, membuat disiplin masyarakat hidup sebagai warga negara.

Oligarki harus dikendalikan, kewarganegaraan ganda (RRT dan Indonesia) harus diakhiri, agar rasa cinta tanah air menjiwai seluruh taipan di Indonesia. Tanpa sadar ekses dari hegemoni taipan di ekonomi, politik, dan hukum telah menambah rasa benci sebagian besar rakyat Indonesia terhadap keberadaan etnis Tionghoa. Ini merupakan ancaman tersendiri yang jika meledak disinyalir lebih dahsyat daripada Kerusuhan Mei 1998.

Pemerintahan Prabowo Subianto kelak harus merestorasi hubungan sosial politik kembali etnis Tionghoa dan pribumi, dengan pembauran yang bersifat Rekonsiliasi Nasional.

Hasil FGD disampaikan ke public melalui artikel yang disosialisasikan oleh berbagai jaringan media social nasional dan internasional, artikel tesebut antara lain:

  1. Mashab Welfare State Yang Kita Mau : Eddy Junaidi
  2. Ekses Pemerintahan Oligarki: PSN atas PIK dan BSD merupakan Kebijakan Sesat : Eddy Junaidi
  3. Rusaknya Etika dan Moral Hukum sebagai Pintu Masuk Oligarki : Bob Randilawe
  4. Kebijakan Ekonomi Joko Widodo Daulat Investor yang Mencerabut Kedaulatan Rakyat : Ariyadi Achmad
  5. Melawan Politik Oligarki Joko Widodo : Lukas Luwarso
  6. Kondisi Objektif Indonesia : Indro Tjahjono
  7. Nawacita Joko Widodo dan Janji Pemberantasan Korupsi di Bawah “Bayang-Bayang Skandal” : Agusto Sulistio
  8. Ekses Pengaruh Oligarki pada Politik Pemerintahan Joko Widodo : Lukas Luwarso

(Agt, Do / PM)