Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.
Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang digelar pada 9 Juli 2014. Dalam pemilihan tersebut, Jokowi yang didukung oleh pasangan calon Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memperoleh suara terbanyak dengan perolehan 53,15% atau sekitar 70.633.576 suara, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh 46,85% suara. Partai pengusung Jokowi-JK terdiri dari PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hanura.
Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2014. Pelantikan tersebut menandai dimulainya pemerintahan Jokowi yang didasarkan pada visi dan misi yang dinyatakan dalam program Nawacita. Program ini digadang-gadang sebagai cetak biru pemerintahan Jokowi, dengan tujuan menghadirkan kembali negara dalam kehidupan rakyat, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan terpercaya.
Nawacita Jokowi Memudar
Nawacita mencakup sembilan agenda utama, antara lain: memperkuat negara dalam melindungi seluruh bangsa, memperbaiki tata kelola pemerintahan, memberdayakan daerah-daerah terpencil, menegakkan hukum yang bebas KKN, hingga melakukan revolusi karakter bangsa. Di antara semua poin tersebut, penekanan pada pemberantasan KKN menjadi janji yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat, terutama mengingat betapa dalamnya praktek korupsi mengakar di birokrasi Indonesia.
Dalam Nawacita, Jokowi secara tegas menjanjikan reformasi sistem hukum dan pemerintahan yang bersih dari KKN. Poin keempat dari Nawacita ini selaras dengan amanat konstitusi yang menuntut pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan berkomitmen untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Namun, kenyataan sering kali tidak seindah janji. Pada 100 hari pertama pemerintahannya, sejumlah kebijakan Jokowi justru menunjukkan tanda-tanda penyimpangan dari janji Nawacita.
Salah satu momen yang paling kontroversial adalah pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri pada 9 Januari 2015. Keputusan ini menuai kritik keras karena Budi Gunawan pernah tersandung kasus rekening gendut yang tengah diselidiki oleh KPK. Meskipun akhirnya Jokowi tidak melantik Budi Gunawan setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka, kejadian ini meninggalkan pertanyaan besar tentang komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Publik melihat adanya tarik-ulur kekuasaan yang seolah melindungi orang-orang tertentu dari jerat hukum.
Selanjutnya, revisi Undang-Undang KPK yang diajukan oleh DPR dan didukung pemerintah pada Oktober 2015 semakin mempertegas kekhawatiran publik. Revisi ini dianggap banyak pihak sebagai upaya pelemahan KPK, dengan membatasi kewenangan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi. Padahal, pada masa kampanye, Jokowi dengan lantang berjanji untuk memperkuat KPK. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Upaya ini menjadi salah satu contoh konkret bagaimana janji reformasi hukum dan pemberantasan KKN dalam Nawacita mulai terkikis oleh kebijakan yang dijalankan.
Proyek Jokowi Tersandung Korupsi (2014 – 2017)
Selain tindakan-tindakan di awal pemerintahannya, berbagai kebijakan dan proyek yang dijalankan di masa pemerintahan Jokowi juga tidak luput dari skandal korupsi. Berikut beberapa contoh yang menonjol:
- Kasus e-KTP (2011-2017) Proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) menjadi salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia**, yang melibatkan anggaran sebesar Rp 5,9 triliun. Meskipun korupsi ini dimulai sebelum Jokowi menjabat, namun penanganannya terjadi di awal pemerintahannya. Kasus ini merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun, dengan beberapa tokoh besar seperti Ketua DPR Setya Novanto dan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjadi tersangka utama. Skandal ini menjadi ujian besar bagi komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi di tingkat tertinggi pemerintahan.
- Kasus Suap Pejabat Kementerian PUPR dalam Proyek SPAM (2017). Pada Desember 2017, KPK menangkap sejumlah pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang terlibat dalam kasus suap terkait proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di berbagai daerah. Proyek bernilai ratusan miliar rupiah ini kembali menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela di sektor-sektor penting, meskipun Jokowi telah berjanji akan membersihkan birokrasi.
- Kasus Korupsi Dana Hibah KONI dari Kemenpora (2017). Kasus korupsi lainnya yang mencuat di akhir 2017 adalah penyelewengan dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Dengan nilai hibah sekitar Rp 17,9 miliar, sebagian besar dana ini diselewengkan oleh pejabat Kemenpora dan pengurus KONI. Kasus ini menunjukkan adanya penyalahgunaan dana publik di tingkat kementerian, yang seharusnya bertanggung jawab atas pengembangan olahraga nasional.
- Kasus Suap Proyek PLTU Riau-1 (2016-2017). Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 menjadi skandal besar lainnya yang menyeret nama-nama besar, termasuk pejabat BUMN dan anggota DPR. Meskipun nilai kerugian negara tidak dipublikasikan secara detail, kasus ini melibatkan proyek bernilai triliunan rupiah, dengan dugaan suap yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk mantan Sekjen Golkar Eni Maulani Saragih. Ini memperlihatkan bahwa proyek strategis nasional pun masih rentan terhadap praktek korupsi.
Refleksi
Kasus-kasus di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa janji Nawacita dalam memberantas KKN tidak berjalan mulus. Meski Jokowi telah menunjukkan niat baik dalam beberapa kesempatan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktek korupsi tetap menjadi momok yang sulit diberantas, terutama ketika melibatkan pejabat tinggi dan proyek strategis nasional.
Penyimpangan dari janji Nawacita ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas kepemimpinan Jokowi dalam memerangi korupsi. Komitmen yang dinyatakan dengan tegas pada awal pemerintahan tampaknya belum mampu meresap ke seluruh lapisan birokrasi dan pemerintahan. Bagi masyarakat, kekecewaan ini merupakan refleksi dari betapa sulitnya memerangi korupsi di Indonesia, yang sudah mengakar kuat dalam sistem pemerintahan dan politik.
Pada akhirnya, rakyat yang menaruh harapan pada Nawacita harus menghadapi kenyataan pahit bahwa janji-janji tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Tantangan besar bagi pemerintahan Jokowi adalah bagaimana mewujudkan visi besar Nawacita menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa tergelincir oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang justru merusak upaya pemberantasan KKN.