https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Salah Eksekusi Objek Lahan di Cikini, Pengadilan Ditunggangi Mafia Tanah

Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Masyarakat Cikini, khususnya pemilik sah lahan dan bangunan di Jalan Kali Pasir, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat kini dihadapkan pada praktik mafia tanah yang melibatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Kasus ini berawal dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan PT Mitra Mata dengan objek perkara lahan di Jalan Kali Pasir No. 16. Gugatan ini berisi permohonan pembukaan blokir oleh Bank Mandiri, pada saat PT. Mitra Mata akan mengajukan Hak Guna Bangunan (HGB) ke BPN. Gugatan itu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kemudian dalam upaya hukum banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan objek tanah di Jalan Cikini Raya menjadi hak Bank Mandiri.

Anehnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan perkara kepemilikan lahan yang menjadi objek perkara tanpa mengikuti prosedur hukum yang seharusnya dilakukan, khususnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat (descente) dan tanpa melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan pengukuran terhadap objek perkara.

Suryantara, Kuasa Hukum pemilik lahan dan bangunan yang sah di Jalan Kali Pasir No. 16, menerangkan, dalam putusannya, pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan hak kepada PT Bank Mandiri atas sebidang tanah ex-Eigendom No. 408 di Jalan Cikini Raya, Kelurahan Gambir, dengan luas 10.000 meter2 setelah dikurangi 901 meter persegi yang dikuasai oleh PT Pos Indonesia.

“Namun menurut BPN, status hukum tanah ex-Eigendom No. 408 tersebut sudah tidak berlaku lagi, sehingga menjadikan putusan tersebut cacat hukum. Keputusan ini menuai kontroversi, terutama terkait perintah pengadilan yang meminta pengosongan bangunan yang berdiri di atas lahan tersebut,” ucap Suryantara kepada media ditengah pengosongan paksa, Rabu (11/9/2024).

Gedung yang diminta untuk dikosongkan adalah milik resmi PT Mitra Mata dan memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), serta tidak pernah menjadi bagian dari sengketa.

Hal tersebut menambah panjang daftar kejanggalan dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang seharusnya tidak memasukkan lahan milik PT Mitra Mata sebagai objek eksekusi.

Pengadilan harusnya memberikan perlindungan hukum kepada para pencari keadilan. Namun, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah melukai rasa keadilan masyarakat.

Putusan hakim telah menyimpang dari harapan PT. Mitra Mata sebagai pencari keadilan yang berharap hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dapat mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan yang eksekutabel berisikan syarat integritas, pertimbangan yuridis pertama dan utama, filosofis, dan diterima secara akal sehat. Bahkan, mereka mempertanyakan sikap Kementerian BUMN yang seolah tutup mata terhadap kejanggalan ini, terutama mengingat bahwa Bank Mandiri merupakan BUMN.

Lebih lanjut, Suryantara mengatakan “Secara proporsional dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak hanya berisikan asas kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan hukum dan mengandung nilai-nilai keadilan. Hakim dituntut menemukan hukum, bahkan bila perlu menciptakan hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.”

Proses eksekusi paksa lahan di Cikini berujung ricuh, bentrokan terjadi antara warga CIkini dengan pihak aparat. Warga merasa mereka berhak untuk mempertahankan lahan dan bangunan yang akan dieksekusi karena mereka memiliki bukti kepemilikan yang kuat atas lahan tersebut.

Ketegangan memuncak ketika petugas tiba di lokasi tanpa melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pengukuran tanah, aparat keamanan bahkan sempat melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan warga mempertahankan propertinya.

Hal ini memicu kemarahan warga yang merasa proses hukum tidak berjalan dengan semestinya.
Banyak pihak mulai mempertanyakan kredibilitas keputusan pengadilan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, termasuk tidak adanya pengukuran yang melibatkan BPN.

Dalam kerusuhan tersebut, belasan warga ditangkap oleh pihak berwenang. Mereka digiring ke mobil tahanan dengan tuduhan melawan petugas dan mengganggu ketertiban umum. Hal ini semakin menunjukkan kualitas hukum di Indonesia yang semakin melemah dan sangat tidak adil terhadap rakyatnya.

Dimana proses eksekusi yang terjadi tidak dilakukan sesuai dengan prosedur dan mengabaikan hak-hak warga untuk membuktikan dokumen kepemilikannya terhadap properti yang dimiliki. (Amhar)