Oleh : Standarkiaa Latief – KAUKUS AKTIVIS 89
Pemilu serentak yang akan diselenggarakan secara nasional pada Februari 2024, adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan anggota legislative yaitu DPR-RI, DPRD Provinsi , juga DPRD Kabupaten dan Kota. Sejatinya pemilu merupakan bagian dari proses konsolidasi demokrasi, oleh karenanya pemilu yang bermartabat adalah sebuah keharusan, yang berpijak pada azas prinsip fairness. Konsolidasi demokrasi dalam kaitan kepemiluan bukan sekedar menampilkan kemampuan teknis penyelenggaraan, lebih dari itu adalah penguatan proses pelembagaan politik di tingkat supra struktur negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP RI). Disamping itu juga ada Partai Politik sebagai peserta kontestasi pemilu yang menjadi bagian dalam proses konsolidasi demokrasi. Sejauh mana lembaga-lembaga tersebut mampu menampilkan perilaku budaya politik yang sehat dengan mengedepankani prinsip-prinsip etik kepemiluan sebagaimana aturan yang berlaku.
Oleh karenanya semua pihak tidak meletakan pemilu semata-mata sebagai ritual politik lima tahunan yang berbiaya besar, lebih dari itu pemilu merupakan sarana mekanisme koreksi total terhadap tata kelola negara yang menyimpang. Pemilu bukan sekedar alat reproduksi elit politik baru yang akan meneruskan pola kekuasaan sebelumnya, hal prinsip hakekat pemilu adalah sebagai pola rekruitmen elit politik baru yang harus meluruskan dan memperbaiki tata kelola negara menjadi lebih baik.
Bagaimanapun juga kecurangan pemilu merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana terjadi pada pemilu 2019 lalu, dimana terekam temuan 11 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah yang diduga kuat adalah fiktif.
Kategori pelanggaran pemilu 2019 juga melahirkan 345 putusan pidana dan mencatat peristiwa paling buruk dalam sejarah kepemiluan Indonesia sejak era Orde Baru hingga saat ini, yaitu terjadi kematian fenomenal sejumlah 894 petugas KPPS yang meninggal dunia diberbagai tempat di seluruh Indonesia. Fakta kelam tersebut menorehkan jejak hitam tragedi kemanusiaan atas proses pemilu 2019 yang meninggalkan duka nestapa bagi bangsa Indonesia. Hingga saat ini tidak ada tanda-tanda negara peduli untuk mengusust tuntas keanehan peristiwa tersebut sehingga mengundang tanda tanya besar, apa yang sebenarnya terjadi dibalik catatan hitam tragedi kemanusiaan tersebut.
Untuk itu sangat penting mencermati proses tahapan pemilu 2024 yang tinggal 120 hari ke depan, terkait pola dan jenis pelanggaran yang terjadi, seperti pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dalam kaitan ini akan terlihat perilaku penyenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) seperti soal netralitas dan moralitas politiknya, yang akan menentukan apakah pemilu dilaksanakan bermuatan kepentingan “blocking” politik kepada partai-partai atau kontestan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tertentu. Potensi pelanggaran perundang-undangan juga sangat rentan dalam proses pemilu yang berjalan, dimana penyelenggara bisa menyimpang dari aturan hukum dan atau regulasi yang berlaku. Pelanggaran Pidana pemilu adalah bagian dari kecurangan pemilu dan merupakan “kejahatan politik” , sebagaimana terjadi pada pemilu 2019 yang mencatat 345 putusan pidana.
Fakta ini menjadi bagian daftar panjang kecurangan pemilu sebelumnya yang tidak berdampak signifikan dalam upaya perbaikan kwalitas pemilu saat ini. Sebagaimana pemaksaan kehendak cawe-cawe presiden dalam mengintervensi benteng konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK No.90/2023 semakin membuktikan bahwa “rancang besar” kecurangan pemilu bukan isapan jempol semata. Putusan MK tersebut telah dibuktikan dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No.2/2023 yang telah membuktikan bahwa putusan MK No.90/2023 telah terjadi pelanggaran Etik Berat.
Potensi dan dugaan pelanggaran kecurangan pemilu saat ini begitu kasat mata, apalagi semakin mendekati hari H yaitu pada 14 Februari 2024. Saat ini dalam tahapan pemilu 2024 telah tercatat 130 an dugaan pelanggaran pemilu, bahkan temuan dugaan terdapat DPS bermasalah (diduga fiktif) sebanyak 52 juta dan 4 juta pemilih kategori usia milenial tidak memiliki E-KTP. Hingga saat ini tidak ada klarifikasi yang transaparan dan jauh dari prinsip akuntabilitas yang menjadi bagian dari asaz pemilu. Jika dibandingkan dengan pemilu 2019, temuan dugaan DPS bermasalah ini terjadi lompatan angka yang sangat fantastis yaitu sekitar 500 %.
Kepatuhan kepada semua bentuk regulasi, aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku adalah mutlak menjadi pijakan terselenggaranya pemilu yang berintegritas. Hal ini wajib melekat kepada ;
Pertama, Aktor Pemilu yaitu elit politik perserta pemilu, dalam hal ini termasuk partai politik yang tergabung dalam koalisi dan Pasangan Calon Presiden – Wakil Presiden.
Kedua, Penyelenggara Pemilu yaitu KPU, BAWASLU dan DKPP harus taat aturan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Ketiga, Pemerintah sebagai penyelenggara tata kelola negara tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon atau koalisi partai.
Tiga unsur tersebut menjadi faktor determinan dalam memotret apakah pemilu terselenggara secara berintegritas atau sebaliknya. Kwalitas pemilu yang berintegritas akan melahirkan elit politik dalam kepemimpinan negara yang demokratis, sebaliknya jika pemilu penuh dengan kecurangan berbasis kejahatan politik maka berbanding lurus lahirnya kepemimpinan negara yang otoriter dan korup.
Untuk itu Pemilu 2024 harus lebih baik dari pemilu sebelumnya, patutlah dicatat bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP sebagai penyelenggara pemilu merupakan bagian dari catatan hitam dan putih pemilu. Pemilu berintegritas dan bermartabat maka Indonesia akan menjadi lebih baik, namun jika pemilu curang sebagaimana yang sudah terlihat dalam proses berjalan saat ini, NKRI akan semakin terpuruk terpapar kerusakan multi dimensional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang terjadi sekarang. Untuk itu, Pemilu mutlak harus bermartabat !!
(Agt/PM)