Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)
Setelah membahas persoalan demokrasi dan ketimpangan sosial, dalam serial pertama dan kedua, sekarang saya membahas serial ke -3, kepemimpinan ideal. Tahun depan persoalan menemukan pemimpin ideal bagi Bangsa Indonesia memasuki babak krusial. Semua elit negara, baik oligarki, pimpinan parpol, presiden, ormas dan lain sebagainya, bahkan mungkin kekuatan global yang berkepentingan di Indonesia, akan sibuk berkolaborasi, berkonspirasi, berkompetisi dan lainnya untuk menentukan siapa calon pemipin Indonesia berikutnya, khususnya presiden 2024. Tantangan ini adalah tantangan besar, karena kita mencari pemimpin untuk 280 juta rakyat, di mana rakyat harus menjadi subjek bukan objek dari “permainan” ini. Rakyat Indonesia telah terlalu lelah dengan situasi ketidakpastian masa depan bangsa dan masa depan dirinya sendiri akibat berbagai situasi yang “unpredictable” dan berbagai kekerasan sosial dan kekerasan mencari nafkah saat ini. Dengan menemukan pemimpin yang adil, maka perjalanan hidup bersama sebagai sebuah bangsa, setidaknya akan mengikuti pepatah “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh” dan “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”.
Indonesia telah menggoreskan nama salah seorang pemimpinnya, Sukarno, dalam ensiklopedia tertua dunia, Britannica (britannica.com/browse/World-Leaders) . Meskipun ensiklopedia ini memuat Sukarno dalam sub-katagori “Dictators”, bersama Adolf Hitler, Mussolini, Josep Stalin dan para diktator lainnya, setidaknya sejarah mencatat keberhasilan kita mempunyai pemimpin kelas dunia. Soal diktator adalah bagian sejarah yang perlu dipelajari, mengapa terjadi? Namun, di luar fase diktatorship, Sukarno telah menunjukkan kepemimpinan yang teruji sepanjang hidupnya mengurus Indonesia dan rakyatnya untuk maju. Sukarno tidak pernah membuat kepentingan nasional (national interest) menajadi kepentingan pribadi, apalagi memperkaya keluarga atau membuat anak-anaknya seperti “prince/princess.
Kepemimpinan adalah tentang pemimpin, tentang seni memimpin, tentang orang yang dipimpinnya serta situasi dimana kepemimpinan itu berlangsung. Namun, kita di sini membicarakan soal kepemimpinan bangsa, bukan perusahaan. Tentang bangsa berarti membicarakan rakyat, yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka-angka keuntungan, seperti dalam perusahaan. Olehkarenanya seorang pemimpin itu harus mempunyai “world view” kebangsaan. Sukarno mempunyai itu. Sukarno telah merumuskan Indonesia itu apa. Tentu rumusan ini merupakan pekerjaan kolektif para pendiri bangsa. Saya hanya menyederhanakan saja. Menurut Soekarno Indonesia adalah bangsa kulit “Sawo Matang”; dalam kesempatan lainnya dia menyebut Indonesia anti-Riba (lihat Pledoi “Indonesia Menggugat” bagian pendirian PNI, di mana Sukarno menyebutkan cita-citanya anti riba); Indonesia adalah nosionalisme plus Islamisme (agama) dan Komunisme ; Indonesia adalah semua wilayah eks jajahan Belanda; Indonesia adalah anti imperialism dan kapitalisme; dan mungkin ada beberapa lainnya. Berbeda dengan Sukarno, Adolf Hitler focus pada “folk” (Volk) yaitu tentang ras Jerman. Pada masa itu ahli-ahli Biologi banyak yang mengeluarkan teori tentang keunggulan ras. Hitler meyakini bahwa Bangsa Jerman adalah ras unggul dan ras mulia yaitu Ras Arya. Ras ini tidak boleh bercampur dengan ras lainnya, khususnya Jahudi di sana pada era itu. Sukarno dan Hitler adalah contoh dua pemimpin yang memahami siapa yang dia akan pimpin. Mungkin tidak semua pemimpin dunia, kalau kita tidak ingin menyebutkan hanya segelintir, yang memikirkan bangsanya ketika menjadi kepala negara atau raja. Tapi, jika kita membahas tentang pemimpin yang adil, di mana kepentingan nasional menjadi fokus seorang pemimpin, maka kunci utamanya adalah pemahaman atas bangsanya menjadi nomer satu.
Apakah pemimpin itu “dilahirkan” atau “dikader”? Para Nabi memang “dilahirkan” , bukan merupakan proses kaderisasi. Pemahaman agama atas kenabian menunjukkan bahwa kehadiran para nabi adalah langsung ditunjuk Allah SWT untuk memimpin sebuah bangsa yang rusak. Bukan hanya ahli agama saja yang percaya pada teori itu. Bahkan bukan hanya para nabi, menurut teori “pemimpin itu dilahirkan”, semua pemimpin besar sudah ditakdirkan keberadaannya. Tentang Sukarno, Ensiklopedia misalnya menulis “endowed with commanding presence, radiant personality, mellifluous voice, vivid style, a photographic memory, and supreme self-confidence, Sukarno was obviously destined for greatness”. Pandangan ini mengatakan adanya bawaan natural dalam diri Sukarno yang menakdirkannya menjadi orang besar. Namun, pandangan bahwa pemimpin itu harus melalui kaderisasi maupun kerja keras, tidak percaya pemimpin itu “dilahirkan”. Menurutnya, seorang pemimpin harus mengalami berbagai proses kehidupan beresiko dan kesadaran mengambil resiko yang panjang. Tidak bisa mempercayakan kepemimpinan pada sesorang yang kurang pengalaman. Semakin besar pengalaman seseorang, semakin tinggi tingkat kepemimpinannya.
Sebagai orang beragama, saya meyakini kedua teori itu bersifat resultante, alias sinergis. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang diinginakan Allah SWT dan hasil kerja keras penuh resiko. Menariknya dalam Islam, pemimpin yang adil itu baru diberikan Tuhan YME setelah rakyatnya ingin merubah diri. Jadi dalam Islam perubahan itu merupakan peristiwa kolektif (Qur’an: “Allah Tidak Akan Merubah Nasib Sebuah Kaum Sebelum Mereka Merubah Keadaanya Sendiri”), bukan soal superioritas dan hegemoni pemimpin. Namun, tentu saja pemimpin itu secara dominan merupakan penunjuk jalan, baik secara kolektif (musyawarah) maupun tunggal. Pentingnya kaderisasi, disamping “endowment” (sifat natural), bagi sebuah kepemimpinan bangsa adalah untuk melihat rekam jejak pemimpin itu sendiri. Apalagi dalam kompetisi pilpres saat ini, yang sarat dengan manipulasi pencitraan.
Karakter seorang pemimpin yang dipelajari oleh ahli-ahli psikologi menyangkut 5 hal dasar yang sering dibahas yakni Openness to Experrience (pribadi yang terbuka untuk pengalaman baru), Conscientiousness (konsistensi), Extroversion (suka berinteraksi sosial), Agreeableness (mampu membangun kepercayaan kolektif) da Neurotism (stabilitas emosi) atau dikenal dengan OCEAN (sumber: floridatechonline.com).
Dalam Islam, sifat pemimpin itu disebutkan ada 4 yang dasar, yakni 1) Kejujuran (Siddiq), 2. Melakukan sesuatu yang diamanatkan (Amanah atau Trust), 3. Menyampaikan kebenaran (Tabligh atau Show the way), 4. Cerdas
Baik ciri-ciri karakter atau sifat yang dikenalkan para psikolog maupun menurut agama Islam di atas, dapat melihat atau mengukur sosok pemimpin dari sisi internal, atau sosok kepribadiannya. Pemimpin tidak amanah misalnya, berbahaya karena dapat membelokkan amanat penderitaan rakyat menjadi bisnis keluarga atau kroni. Ini umumnya terjadi di era Suharto dan sesudahnya. Pada era Sukarno, ambisi-ambisinya untuk menjadi pemimpin besar, seperti istilah Fuhrer untuk Adolf Hitler, yang tidak terkontrol, juga merupakan pelanggaran amanah.
Margareth MacMillan, Oxford University, dalam World Economics Forum, 2017 memberikan catatan tentang perangkap yang selalu ada dalam kekuasaan. Perangkap itu antara lain ketika sang pemimpin terperangkap oleh propaganda yang dia buat sendiri dan ketika sang pemimpin tidak sensitif kapan waktunya turun tahta. MacMillan juga mencatat bahayanya seorang pemimpin jika “kurang mau mendengar” masukan. Kejatuhan seorang pemimpin maupun melenceng dari arah yang benar, awalnya terjadi karena menutup diri dari saran atau nasihat lingkungan politiknya.
Tantangan terbesar Bangsa Indonesia sampai saat ini adalah korupsi dan perangkap feodalisme. Kepentingan publik, ruang publik, asset publik dan segala yang bersifat publik dibajak untuk memenuhi interest pribadi dan atau keluarga. Bahkan, kekuasaan dan power saat terkahir ini, secara kasat mata, digunakan juga untuk mendelegitimasi upaya penangan korupsi oleh KPK. Feodalisme sendiri terkait upaya -upaya mewariskan kekuasaan berdasarkan keturunan, bukan ukuran kepantasan. Penggunaan 11.000 aparat negara menjaga perkawinan anak presiden, seperti baru-baru ini terjadi, juga ada contoh kekonyolan sifat feodalistik pemimpin.
Korupsi dan feodalisme merupakan tantangan internal. Namun, tantangan eksternal berasal dari perubahan geopolitik, recovery paska pandemi Covid-19 dan perubahan teknologi. Lima tahun lalu, World Economics Forum, 2017, misalnya melihat tantangan geopolitik, berupa perang dagang US vs. RRC serta industri 4.0, sebagai “driving factors” arah dunia, namun saat ini kita sadari yang terjadi bukan lagi perang dagang, tapi telah terjadi perang fisik di Ukraina, antara Russia yang didukung RRC, Korea Utara dan Iran versus Amerika dan barat, serta adanya potensi perang di Laut China Selatan antara blok Amerika vs. RRC. Perang dagang dan perang fisik ini merupakan katastropik alias malapetaka besar bagi dunia, termasuk Indonesia. Pemimpin Indonesia ke depan harus menghitung secara teliti dan sungguh-sungguh posisi dan keterlibatan Indonesia dalam geopolitik itu. Kita tidak hidup di ruang hampa, seolah-olah bisa mengisolasi diri atau memberikan propaganda nasionalisme semu kepada rakyat. Sejarah memperlihatkan ketika Belgia menyatakan netral dalam perang dunia kedua, Hitler langsung menyerbu Belgia. Seberapa kuat kita sebagai sebuah bangsa saat ini? Apakah perpecahan yang direkayasa selama sepuluh tahun terakhir, yang saya yakin dimotori kaum oligarki, mampu membuat benteng kebangsaan kita dalam dunia yang bergolak?
Tantangan teknologi juga persoalan besar yang harus kita hadapi. Saat ini di luar isu industri 4.0 dan society 5.0, digitalisasi telah sempurna paska pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, meskipun sarana teknologi informasi telah optimal, namun manusia masih enggan untuk sepenuhnya dalam dunia digital tersebut. Dengan pengakuan atas dunia digital ini, berbagai ahli hukum di negara maju, misalnya mulai mempelajari kontraktual baru antara manusia. Misalnya, apakah pemerkosaan di Metaverse yang dilakukan seseorang mempunyai dampak hukum di dunia nyata? Banyak sekali turuan persoalan dari dunia digital ini. Pemimpin yang tidak melihat kerumitan baru akibat digitalisasi dunia, pasti akan membawa Indonesia terjebak dalam keterpurukan yang lebih dahsyat. Kebiasaan Indonesia dari jaman VOC yang bangga dengan berdagang rempah-rempah dan hasil tambang adalah kebanggaan yang seharusnya dihapus dari kehidupan kita. Bangsa ini harus siap menyongsong dunia dengan teknologi tercanggih ke depan.
Ada ungkapan populer sebagai berikut: “dalam setiap krisis, pemimpin besar akan datang.” Memang sejarah seringkali menunjukkan hal demikian. Tapi sejarah juga menunjukkan bahwa Sukarno dan para pendiri bangsa datang setelah orang-orang Indonesia badannya tinggal tulang dihisap Belanda. Percaya pada Allah SWT tentu saja, tapi takdir itu harus rakyat yang menjemputnya. Rakyat Indonesia saat ini dalam krisis yang dalam dan dunia sedang begitu kejam. Satu-satunya jalan adalah bangkit dan menjemput pemimpin ideal itu, bukan diam dan pasrah.
Pada tahun depan semua kekuatan berebut kekuasaan. Kaum oligarki telah membuat “road map” yang indikasinya adalah UU Omnibuslaw Cipta Kerja, di mana kontrol kaum kapitalis maksimal dalam mengekploitasi kekayaan alam. Indikasi kedua adalah pemindahan ibukota. Jika ibukota dipindahkan maka Jakarta akan sepenuhnya dikontrol kaum kapitalis. Jakarta adalah kota kaya raya. Menurut sebuah riset, hanya 5 pengembang atau kelompok bisnis properti yang menguasai tanah-tanah strategis di Jabodetabek. Selama ini Jakarta bergolak karena para oligarki tidak bisa seenaknya, karena di Jakarta berimpit antara urusan politik dan bisnis. Pemimpin yang bertarung ke depan adalah penerus kepentingan oligarki atau sebaliknya kembali pada pemimpin besar yang cinta rakyat?
Sampai saat ini kita melihat kekuatan oligarki versus kekuatan rakyat cukup berimbang. Hancurnya kelompok Sambo, yang terindikasi sebagai sebuah kekuatan pemukul kaum oligarki, menyulitkan operasi politik mereka ke depan. Operasi politik dengan PT 20% juga terlihat penuh hambatan, karena gerakan Surya Paloh yang memisahkan diri dari barisan Jokowi cukup fatal bagi kontrol atas penjaringan capres mereka. Rencana penggagalan pemilu ke depan, melalui isu perpanjangan masa jabatan, mempunyai potensi kerusuhan sosial yang mungkin tidak terkendali. Kekuatan oligarki kelihatannya juga mulai terpecah belah, ada yang mulai beradaptasi pada konsesi politik yang saling menguntungkan semua kekuatan bangsa.
Namun, kita masih harus tetap memperkuat kewaspadaan dan barusan rakyat.
Bangsa Indonesia harus terus optimis melihat perubahan ke depan. Kita harus bersandar pada cita-cita proklamasi sebagai acuan. Indonesia harus untuk Bangsa Indonesia. Kakayaan alam kita harus dibagi rata, semua mendapatkannya, semua senang bersama-sama. Ideologi Pancasila yang sosialitik harus kembali jaya.
Lalu siapa pemimpin ideal ke depan? Pemimpin ideal ke depan, dari pembahasan kita di atas, adalah pemimpin yang tidak didukung kekuasaan dan kekuatan Jokowi. Jika kita bekerja keras menemukannya serta berdoa pada Allah SWT, maka akan segera terlihat banyak pemimpin pilihan ke depan. Pemimpin yang penuh amanah, terpercaya, cinta rakyat miskin, dan tidak tunduk pada kepentingan asing maupun segelintir oligarki.
Jika tahun depan muncul banyak atau beberapa pemimpin ideal di ruang publik, maka tugas selanjutnya adalah membangun komunikasi dan koalisi antara parpol yang cukup mengusung capres/cawapres. Kita harus optimis itu akan terjadi juga. Perlu dihindari egoisme elit kaum perubahan. Musyawarah dan mufakat bisa dipraktikkan dalam menyusun rencana pencapresan yang saling menguntungkan, namun terutama untuk menguntungkan bangsa.
Demikianlah tantangan ke-3 terbesar kita 2023.
(Pantai Anyar, 25/12/22)