(Ditengah Kritik dan Desakan Mundur)
Brasil mengajarkan kita satu hal penting dalam demokrasi, bahwa loyalitas politik tidak harus mengorbankan hukum dan kebenaran. Ketika Luiz Lula da Silva (Lula) kembali menjadi Presiden pada 30 Oktober 2022, ia memimpin bangsa yang sedang rapuh akibat polarisasi politik dan dominasi elite oligarki. Namun Lula tidak tunduk pada kompromi kekuasaan. Ia membuktikan, seorang pemimpin bisa tetap menghormati jasa lawan politik tanpa kehilangan keberanian menegakkan hukum.
Contohnya sangat jelas. Pada 8 Januari 2023, pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro menyerbu pusat kekuasaan di BrazĂlia dalam upaya delegitimasi pemilu. Bukannya menghindar, Lula mendorong aparat hukum menindak tegas, swcara tidak langsung memproses Bolsonaro sendiri. Ia tidak menutupi jasa Bolsonaro, tapi juga tidak membiarkan hukum dikhianati demi stabilitas semu.
Lula menjaga keseimbangan antara etika kekuasaan dan keberanian moral. Ia tidak memecah bangsa, tapi juga tidak membiarkan keadilan menjadi korban kompromi politik.
Indonesia hari ini berada di ambang ujian sejarah yang serupa. Prabowo Subianto resmi terpilih sebagai Presiden hasil Pilpres 2024. Namun proses kemenangannya sarat kontroversi. Ia maju bersama Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi, yang diloloskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang belakangan Hakim MK tersebut, Anwar Usman dinyatakan melanggar etik berat oleh Dewan Etik MK.
Fakta bahwa ipar Jokowi (Anwar Usman) menjadi Ketua MK saat memutus perkara itu mempertegas dugaan publik bahwa Pilpres 2024 tidak berlangsung dalam kompetisi yang adil. Maka wajar jika muncul anggapan bahwa Prabowo hanya perpanjangan tangan Jokowi, seorang “boneka politik” yang didudukkan untuk mengamankan kesinambungan kekuasaan, bukan perubahan.
Namun politik tidak sesederhana itu. Seperti Lula, Prabowo juga berada dalam posisi strategis untuk membalik tafsir sejarah. Pertanyaannya, apakah pujian Prabowo terhadap Jokowi adalah bentuk loyalitas buta, atau bagian dari strategi politik jangka panjang? Apakah diamnya Prabowo terhadap dugaan penyimpangan hukum era Jokowi adalah sikap loyal, atau justru menunggu momentum untuk bertindak?
Prabowo tentu punya alasan untuk bersikap hati-hati. Ia paham, berhadapan langsung dengan kekuatan oligarki yang masih aktif bisa menciptakan ketegangan serius di awal pemerintahannya. Namun publik juga tidak bisa terus menunggu.
Jika Prabowo memang ingin dikenang sebagai pemimpin besar, ia harus berani menegaskan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan. Ia harus tunjukkan bahwa dukungan politik tidak bisa membeli impunitas hukum. Dan yang terpenting, ia harus menjawab pertanyaan rakyat: siapa sesungguhnya yang ia bela? Bangsa ini, atau status quo?
Rakyat Indonesia tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin pemimpin yang berani menempatkan hukum dan konstitusi di atas kepentingan keluarga dan kekuasaan. Jika Prabowo ingin dikenang seperti Lula, bukan sebagai pewaris kekuasaan, tapi sebagai pemutus rantai oligarki. maka inilah waktunya untuk bersikap.
Karena sejarah tidak menunggu orang yang ragu.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 10 April 2025, 07:45 Wib.