Los Angeles kembali menjadi medan konfrontasi. Bukan hanya antara demonstran dan aparat federal, tetapi juga antara negara bagian dan Presiden Amerika Serikat sendiri. Gubernur California Gavin Newsom secara terbuka menantang Donald Trump, presiden yang kerap menganggap kekuasaan sebagai instrumen sepihak.
“Kami menggugat Donald Trump,” tulis Newsom di akun X, Senin (9/6/2025). Ia menyebut pengerahan pasukan Garda Nasional ke Los Angeles sebagai bentuk “krisis buatan”, hasil dari politik ketakutan dan teror yang sengaja diciptakan Trump demi mengkonsolidasikan kekuasaan di tengah kekacauan sipil.
Langkah hukum ini diperkuat oleh Jaksa Agung California, Rob Bonta. Dalam gugatannya, Trump dituduh melampaui batas kewenangan konstitusionalnya dengan menggunakan pasukan negara bagian untuk tujuan yang tidak sah menurut “Insurrection Act” dan hukum federal lainnya. Pemerintah negara bagian pun meminta pengadilan menyatakan tindakan presiden sebagai pelanggaran hukum dan prinsip federasi.
Situasi di Los Angeles bermula dari penggerebekan besar-besaran terhadap imigran oleh otoritas ICE pada 7 Juni yang berujung bentrokan dengan warga sipil. Demonstrasi menentang kebijakan imigrasi keras ini kemudian dijawab oleh Washington dengan pengerahan kekuatan militer.
Dalam sistem hukum federal Amerika, presiden tidak bisa serta merta menggunakan militer untuk menangani urusan domestik. “Posse Comitatus Act” (1878) dan “Insurrection Act” (1807) membatasi keras penggunaan militer kecuali dalam situasi darurat luar biasa. Dan kali ini, kondisi itu tak terpenuhi.
Seperti ditulis James Madison, sang arsitek Konstitusi AS, “The accumulation of all powers… in the same hands… may justly be pronounced the very definition of tyranny.” Ketika kekuasaan eksekutif, militer, dan hukum digenggam oleh satu tangan tanpa kontrol, maka ancaman tirani bukan lagi fiksi.
Newsom memperingatkan, bila Washington terus menekan California, negara bagian itu akan mempertimbangkan menolak menyetor pajak federal sebagai bentuk perlawanan fiskal. California, dengan penduduk lebih dari 39 juta jiwa dan ekonomi terbesar kelima di dunia, bukanlah negara bagian biasa. Ini adalah pusat perlawanan terhadap politik Trumpisme.
Trump sebelumnya telah mengancam memotong dana untuk California atas berbagai isu mulai dari keterlibatan atlet transgender, pembatalan proyek banjir, hingga kritik soal penanganan kebakaran hutan. Kini, ancaman itu ditindaklanjuti dengan pengerahan pasukan.
Pentagon telah menurunkan 700 marinir secara temporer dan dijadwalkan 2.000 personel Garda Nasional akan menyusul. Walau Gedung Putih belum secara resmi mengaktifkan Insurrection Act, seorang pejabat AS mengatakan: “Situasinya bisa berubah setiap saat.”
Alexander Hamilton, dalam “The Federalist Papers”, mengingatkan bahwa, “The use of military force to silence opposition, even under the pretext of order, is the beginning of despotism.” Dan kini, Amerika berdiri di persimpangan sejarah: tunduk pada logika militerisasi, atau kembali pada prinsip sipil dan federatif yang mendasari kelahirannya.
Gugatan California bukan sekadar gugatan hukum. Ini adalah sinyal bahaya. Ketika demokrasi diuji oleh godaan kekuasaan absolut, maka suara dari negara bagian seperti California menjadi penjaga nalar republik.
Dan kini, dalam konstitusi dan keberanian, California berkata: kekuasaan presiden pun ada batasnya.
Penulis, editor: Agusto Sulistio
Sumber: Reuters, CNN.