Keterangan Gambar: Presidium GEKANAS, R. Abdullah dan Pengurus di depan Gedung Mahkamah Konstitusi
Jakarta – Sudah hampir empat tahun sejak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan di Indonesia, dan selama itu pula Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) bersama seluruh pekerja dan buruh di Indonesia terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Penantian yang panjang, ditambah kabar keputusan Mahkamah Konstitusi yang berlarut-larut hingga 1,5 tahun, menciptakan rasa tidak pasti di kalangan pekerja yang nasibnya berada di ujung pasal-pasal undang-undang tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dinanti pada 31 Oktober 2024 nanti, menjadi titik harapan dan sorotan terakhir bagi GEKANAS agar Mahkamah dapat kembali menjalankan perannya sebagai pelindung keadilan konstitusional yang sejati.
Bagi GEKANAS, UU Cipta Kerja adalah simbol negara yang semakin berpihak pada kepentingan oligarki. Ini bukan hanya sekadar klaim, tetapi didukung oleh kenyataan pahit yang dialami para pekerja. Omnibus Law ini telah membuka pintu lebar bagi perusahaan untuk memanfaatkan pekerja dengan fleksibilitas yang merugikan mereka, mulai dari upah murah hingga kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin longgar. Pekerja kini bisa dipecat kapan saja, tanpa panduan atau perlindungan jelas yang mengatur hak mereka. Inilah wujud negara sebagai “agen oligarki,” sebut GEKANAS, yang justru memudahkan pengusaha tanpa memikirkan nasib pekerja yang menjadi roda ekonomi.
Dampak UU Cipta Kerja juga terlihat dari meningkatnya angka pengangguran. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja baru yang mencapai sekitar 2,5 juta orang per tahun kian sulit terserap di pasar kerja. Kebijakan baru dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 dan PP No. 51 Tahun 2023 tentang pengupahan pun dipandang oleh GEKANAS sebagai bentuk kediktatoran hukum. Bukannya meningkatkan kesejahteraan, regulasi ini justru menekan upah minimum hingga menggerus daya beli pekerja secara drastis. Alih-alih memberikan kesejahteraan yang dijanjikan, kebijakan ini justru menghantam ekonomi para buruh di tengah inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak.
Pada intinya, GEKANAS berargumen bahwa undang-undang ini telah melanggar hak-hak asasi pekerja. Hak untuk hidup layak, hak bebas dari penyiksaan ekonomi, dan hak untuk tidak diperbudak secara modern seharusnya dijamin negara. Pasal 28A dan Pasal 281 UUD 1945 dengan tegas memberikan perlindungan konstitusional atas hak hidup dan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara. Lebih lanjut, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), hak-hak tersebut diatur lebih spesifik, yang seharusnya menjadi pedoman bagi negara dalam memperlakukan setiap warga negara, termasuk pekerja.
Selain itu, GEKANAS mengkritisi pembuat undang-undang yang dianggap melanggar prinsip dasar Pancasila. Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi landasan hukum yang menjunjung nilai keadilan sosial. Namun, realitasnya, UU Cipta Kerja dianggap justru mengabaikan prinsip tersebut, dan malah menjadikan para pekerja sebagai korban deregulasi yang merugikan. Ini menimbulkan kegelisahan dan kekecewaan bagi para pekerja, yang melihat hak-haknya dikorbankan demi kemudahan usaha bagi pihak-pihak berkuasa.
Pada akhirnya, GEKANAS dengan tegas menyerukan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Klaster Ketenagakerjaan dalam UU No. 6 Tahun 2023. Tuntutan ini bukan sekadar permintaan semata, tetapi merupakan jeritan suara pekerja yang merasa tidak terlindungi di tengah derasnya arus liberalisasi ekonomi yang masuk melalui regulasi ini. GEKANAS berharap Mahkamah dapat berfungsi sebagai “mahkamah keluarga” yang kembali mendengar suara konstituen dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang setiap harinya bekerja keras membangun negeri.
Tuntutan GEKANAS terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja:
- Penghapusan Sistem Upah Murah dan Fleksibilitas Buruh yang Merugikan.
GEKANAS menuntut agar fleksibilitas kerja yang merugikan pekerja dihentikan dan upah murah dihapuskan. Buruh seharusnya mendapatkan upah yang layak dan perlindungan terhadap jam kerja yang manusiawi. - Penjaminan Ketenagakerjaan yang Lebih Stabil dan Protektif.
GEKANAS meminta penghapusan aturan PHK yang semena-mena di UU Cipta Kerja yang memberi keleluasaan bagi perusahaan untuk mem-PHK pekerja kapan pun. Sebaliknya, perlu ada regulasi yang memastikan PHK hanya terjadi sesuai prosedur yang adil. - Peninjauan Kembali Kebijakan Pengupahan dalam PP No. 36/2021 Jo PP No. 51/2023.
Kebijakan pengupahan yang terkandung dalam kedua PP tersebut dianggap sebagai instrumen penindasan ekonomi bagi buruh. GEKANAS menuntut agar regulasi ini dikaji ulang agar pekerja mendapatkan kenaikan upah yang adil, sesuai kebutuhan hidup layak. - Pemulihan Hak Asasi Pekerja Sebagai Hak Konstitusional yang Harus Dilindungi Negara.
GEKANAS menegaskan bahwa negara wajib melindungi hak hidup layak, hak bebas dari penindasan ekonomi, serta hak bebas dari perbudakan. UU Cipta Kerja yang ada kini harus mengembalikan hak asasi pekerja ke posisi yang layak sesuai konstitusi. - Pembatalan Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
GEKANAS menuntut Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh klaster ketenagakerjaan dalam UU No. 6 Tahun 2023 agar hak-hak pekerja yang selama ini tergerus dapat kembali terlindungi.
Keputusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi penentu, apakah hukum di negeri ini masih berdiri untuk melindungi yang lemah atau malah makin jauh dari semangat konstitusi yang mengedepankan keadilan. Di tengah asa dan kecewa, para pekerja berharap Mahkamah bukan hanya sebagai benteng konstitusi, tetapi juga perwujudan nyata dari semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana dijanjikan dalam butir-butir Pancasila.
Jakarta, 30 Oktober 2024
PRESIDIUM GEKANAS
- R. Abdullah
- Dwi Hartoro
- Abrar Ali
- Sofyan Abdul Latief.
Editor: Agusto Sulistio
(Gt/PM)