Hujan baru saja reda mengguyur kawasan Pisangan, Jakarta Timur, pada sore Selasa (15/10/2024. Saya memiliki janji bertemu dengan seorang tokoh Betawi yang juga mantan pemain Timnas Garuda-1 era 90-an, Mochamad Syukri, atau yang lebih akrab disapa “Bang Bule.”
Bang Bule lahir di Jakarta pada 4 Desember 1968, sebagai anak pertama dari pasangan H. Mochamad Sidik dan Hj. Salmah. “Ane berodol di Kampung Dalam, Cawang Atas, Cawang Kompor, Jakarta Timur,” kenangnya, menceritakan masa kecilnya. Kini, kampung halamannya telah berubah menjadi apartemen Signature Park, sebuah simbol perubahan yang terus mengikis ruang-ruang hijau Jakarta.
Sejak kecil, bakat sepak bola Bang Bule sudah terlihat jelas. Ia meniti karier sepak bolanya dari level terendah: anak gawang, gawang C, gawang B, hingga level remaja Taruna (Rentar). Ia terus merangkak naik hingga ke tingkat junior dan senior, semua dilakoni di klub Adidas yang bermarkas di Pusdikes Kramat Jati.
Kecintaannya pada sepak bola pun menurun ke anak laki-lakinya, Karunia Sastra Saputra, yang pernah bermain untuk Arema, Lamongan, Bengkulu, dan Persita Tangerang. Sementara adiknya, Sofyan Esa Ramadan, memulai karier di Liga 3 bersama PS Majalengka, sebelum melanjutkan ke Liga 2 bersama Persita Tangerang.
“Saya mencapai puncak karier sepak bola ketika saya dan beberapa teman terpilih melalui seleksi ketat,” kenang Bang Bule. Dari klub Adidas, ia bersama Fauzi, Syaiful, dan Toni dari klub Amigos berhasil mewakili DKI Jakarta di seleksi Timnas Garuda 1, bersama pemain lain seperti Nase Gurumut dari Aceh.
Namun, nasib berkata lain. “Saat uji coba melawan Thailand di sana, saya mengalami cedera serius di kaki kiri,” lanjutnya dengan suara berat. Cedera itu mengakhiri karier sepak bola profesionalnya.
Bang Bule kemudian bercerita tentang masa-masa kejayaan sepak bola Jakarta. “Dulu main bola murah dan mudah. Banyak klub-klub bola di Jakarta, seperti Putra Rama Rawamangun, Gumarang Angkasa Halim, Caprina Cibubur, Amigos Cijantung, dan klub saya, Adidas, di Kramat Jati,” katanya. Pada masa itu, DKI Jakarta cukup disegani dalam ajang-ajang nasional, termasuk Pekan Olahraga Nasional (PON).
“Tahun 1977, DKI Jakarta meraih emas sepak bola di PON. Itu puncak kejayaan kita,” ucapnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Nada suaranya berubah sendu, seolah merindukan masa-masa gemilang yang kini hanya tinggal kenangan. “Sudah hampir 50 tahun berlalu, Jakarta nggak pernah lagi angkat piala di PON.”
Menurut Bang Bule, salah satu masalah utama sepak bola di Jakarta saat ini adalah kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi pemain lokal. “Kalau pemerintah serius, bukan hal mustahil prestasi itu bisa kita ulang. Tapi sekarang, warga Jakarta cuma jadi suporter. Anak-anak kita nggak lagi dibina jadi pemain yang berprestasi. Dulu, setiap kampung ada lapangan bola, sekarang? Lapangan-lapangan itu sudah jadi gedung.”
Ia mengenang era 1980-an, saat dirinya dan banyak pemain lain mudah ditemukan di klub-klub sepak bola yang tersebar hingga tingkat kecamatan. “Sekarang, nggak ada lagi ruang buat anak-anak kita latihan bola. Lapangan berubah jadi gedung. Anak-anak lebih banyak main ponsel daripada ngejar bola.”
Selain itu, biaya untuk ikut sekolah sepak bola sekarang sangat mahal, membuat sepak bola semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar anak-anak Jakarta. “Dulu, ada semangat dan kebanggaan main bola di Jakarta. Sekarang? Narkoba dan ponsel lebih banyak menarik perhatian anak-anak kita,” ucapnya dengan nada prihatin.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Bang Bule menitipkan harapannya kepada pasangan calon gubernur DKI Jakarta, Mas Pram dan Bang Doel. “Gue harap cagub-cagub ini bisa balikin kejayaan sepak bola Jakarta, kayak tahun 1977 dulu. Woi Doel, kalau ente serius mau pimpin Jakarta, tolong perhatiin anak-anak kita. Biar mereka bisa salurin minat mereka di sepak bola. Bayarin les bola, kasih beasiswa, atau perbanyak pelatih di sekolah-sekolah. Jangan sampai olahraga sepak bola jadi olahraga yang mahal. Dan jangan lupa hidupkan lagi perserikatan bola di Jakarta!”
Bang Bule kemudian tertawa kecil sebelum berkata, “Udah, ah. Gue mau nonton bola di TV dulu, Indonesia lawan Cina.” Perbincangan sore itu berakhir dengan perasaan campur aduk bangga, prihatin, namun juga penuh harapan. Bang Bule, dengan semangatnya yang tak pernah padam, terus menantikan saat-saat ketika DKI Jakarta kembali berjaya di lapangan hijau. Harapannya, anak-anak Betawi suatu hari nanti bisa kembali mengharumkan nama Jakarta di kancah nasional, bahkan internasional.
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 17 Oktober 2024, 05:18 Wib.
(HHT, Agt / PM)